PERANG Uhud berakhir dengan luka perih di lubuk terdalam dari hati Rasulullah, tatkala beliau menyaksikan jasad pamannya, Hamzah dalam kondisi yang berantakan. Dadanya dibelah, ususnya terburai, dan jantungnya dikunyah. Siapakah pelaku kekejian terhadap mayat itu?
Dia adalah Hindun binti Utbah. Istri Abu Sufyan tersebut memang sangat dendam kepada Hamzah. Sebelumnya, pada Perang Badar, ayah dan saudara Hindun mati di tangan Hamzah. Kesumat itulah yang mengobarkan api kebencian, sehingga Hindun hilang kewarasan. Perempuan yang semestinya berkarakter halus lembut, malah menjelma terbakar kebencian disebabkan kobaran dendam.
Ṭabarī dalam buku Muhammad di Makkah dan Madinah (2019: 566) menceritakan:
Hindun binti Utbah dan para perempuan yang bersamanya memotong-motong jenazah sahabat-sahabat Rasulullah saw. yang telah meninggal, serta mengiris telinga-telinga dan hidung-hidung mereka. B
ahkan, Hindun menjadikan telinga-telinga dan hidung-hidung mereka sebagai gelang kaki dan kalung. Sedangkan gelang kaki, kalung, dan anting miliknya diberikan kepada Wahsyi, budak Jubair bin Muth'im.
Kejadian tragis yang melibatkan Hindun binti Utbah dan para perempuan yang bersamanya dalam pemotongan jenazah para pejuang Islam telah menjadi salah satu bab kelam dalam sejarah Islam.
Tindakan ekstrem yang dilakukan Hindun dengan memutilasi jasad pejuang Islam yang telah meninggal merupakan suatu peristiwa yang mengejutkan, sekaligus mencoreng semangat toleransi dan kasih sayang yang diajarkan oleh Islam.
Tindakan Hindun tidak hanya mencerminkan kebencian yang mendalam terhadap agama Islam, tetapi juga mencerminkan kebrutalan yang tidak manusiawi, bahkan dalam konteks perang sekalipun. Menggunakan bagian tubuh korban sebagai hiasan tubuh adalah perbuatan yang sadis dan tidak pantas, yang menciptakan gambaran keji terhadap perempuan yang seharusnya dihiasi oleh sifat kelembutan.
Khālid Muḥammad Khālid dalam buku 10 Hari Penting Bersama Rasulullah (2001: 73-74) menceritakan:
Sementara, kaum Quraisy sangat jengkel dan marah melihat Rasulullah dan para sahabatnya masih sehat segar bugar. Madinah masih berdiri tegak batas-batasnya dan tidak terjamah sejengkal pun. Sedangkan mereka, jangankan kemenangan, harta rampasan dan tawanan saja tidak berhasil mereka dapatkan. Padahal, mereka sudah mengerahkan segala apa yang mereka miliki, baik harta maupun kekuatan untuk meraihnya.
Sebanyak 3.000 pasukan hanya mampu menghasilkan korban 64 orang dari 700 kaum muslimin. Jumlah yang sangat sedikit sekali dari yang seharusnya dapat dicapai. Karena itu, mereka sangat jengkel dan melampiaskannya dengan mencincang dan merobek tubuh Hamzah, orang yang mereka anggap paling membuat sial dan menimbulkan banyak korban di pihak mereka.
Berat sekali pukulan batin yang dialami oleh Nabi Muhammad setelah melihat jasad paman tercinta porak-poranda oleh amukan Hindun. Bahkan kaum jahiliyah tidak menyakiti mayat yang sudah tidak berdaya. Namun, beliau membangun kekuatan hati yang mampu menerima kenyataan meskipun pahit.
Khālid Muḥammad Khālid (2001: 74) menerangkan:
Rasulullah belum selesai mengamati mayat pamannya yang dalam kondisi badannya dicincang, perutnya robek menganga, Hindun mencabut hatinya, ususnya dikeluarkan dan dikalungkan ke lehernya, hidung dan daun telinganya diiris. Meski Rasulullah bersabar dan menyerahkan semuanya kepada Allah, namun hal itu sangat berat dirasakannya, seakan-akan ia membawa beban gunung di punggungnya.
Samar-samar terdengar kalimat dari lisannya, “Saya tidak (ingin) mengalami musibah seperti ini lagi untuk selamanya. Saya tidak pernah menghadapi peristiwa yang paling membuat saya marah melebihi peristiwa sekarang ini.”
Dalam peristiwa tragis kematian paman terkasihnya, Rasulullah tetap menjadi pelita yang memberikan cahaya bagi kita semua. Keberanian dan ketabahan beliau menjadi cermin untuk melangkah maju, melewati setiap rintangan dengan iman yang teguh dan keyakinan akan keadilan dan kebijaksanaan Allah.
Sekitar 64 orang dari pihak muslimin yang mati syahid di Uhud, akan tetapi tidak ada penyesalan karena mereka telah mencapai kemuliaan tertinggi. Mati dalam kemusyrikan dengan mati dalam keimanan jelas berbeda kualitasnya. Lagi pula, mati syahid adalah cita-cita dari para mujahid Islam.
M. Fethullah Gulen dalam buku Cahaya Abadi Muhammad Saw. 2 (2013: 314) menguraikan:
Sebelum Perang Uhud berkobar, ada sekian banyak sahabat Rasulullah yang terus berdoa kepada Allah agar mereka dapat gugur sebagai syahid karena sebelumnya mereka tidak ikut dalam Perang Badar. Rupanya Allah berkenan mengabulkan doa mereka dan menganugerahkan kesyahidan sebagai “bintang jasa” tertinggi untuk mereka.
Tapi di tengah kondisi terdesak saat Perang Uhud itulah kemudian seorang sahabat bernama Anas bin Nadhar yang ikut mendengar kabar bahwa Rasulullah telah tewas, berseru di hadapan pasukan muslim, "Hai kalian! Seandainya pun Muhammad telah terbunuh, maka Tuhannya Muhammad tidak pernah mati. Maka teruslah bertempur seperti yang telah dilakukan Muhammad.”
Lalu Anas bin Nadhar bermunajat, “Wahai Allah, sesungguhnya aku memohon ampun pada-Mu dari apa yang dikatakan orang-orang itu dan aku juga berlepas diri pada-Mu dari apa yang dilakukan orang-orang itu.”
Setelah berkata begitu, Anas bin Nadhar menghunus pedangnya dan bertempur hingga akhirnya dia gugur sebagai syahid.
Pada akhirnya, Nabi Muhammad berhasil mempertahankan keutuhan pasukan muslimin di Perang Uhud. Dan yang terpenting, beliau mampu melindungi kota Madinah dari kehancuran akibat amukan pasukan Quraisy.
Setelah menguburkan jenazah para syuhada, Rasulullah membawa pasukan muslimin dan para pejuang yang terluka kembali ke Madinah. Perang Uhud telah memberi banyak pelajaran tentang makna perikemanusiaan.
KOMENTAR ANDA