Wajah Jakarta malam hari/Flip
Wajah Jakarta malam hari/Flip
KOMENTAR

SEJUMLAH aktivis yang terdiri dari akademisi dan praktisi lintas profesi menggalang petisi daring untuk membatalkan RUU Provinsi Daerah Khusus Jakarta (PDKJ).

Pencetus petisi daring tersebut terdiri dari penulis, fotografer, akademisi, arsitek, perancang kota, aktivis prodemokrasi, juga pegiat lingkungan hidup. Petisi ini menjadi kelanjutan dari konferensi pers berisi maklumat keprihatinan di Kedai Tempo, Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur pada 22 Desember lalu.

Koordinator Kelompok Studi Dialokota Andesha Hermintomo menegaskan kembali kerugian-kerugian yang bakal dialami warga Jakarta termasuk warga Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur jika RUU PDKJ disahkan.

Menurutnya, dengan mengukuhkan kekuasaan absolut Presiden dalam menentukan Gubernur dan menjadikan Wakil Presiden sebagai pimpinan tertinggi dari Dewan Kawasan Aglomerasi maka pemerintah pusat bakal memiliki kendali penuh dalam mengelola Jakarta dan daerah-daerah sekitarnya.

Dengan demikian, secara otomatis, RUU PDKJ langsung mematikan kemandirian pemerintah daerah dan melumpuhkan peran serta warga dalam menentukan arah maju kotanya.

“Apa pun alasannya, pembangunan ruang hidup warga tidak boleh satu arah, sepihak dan monopolistik. Kebijakan-kebijakan otokratis dapat dipastikan hanya akan memperparah ketidaksetaraan warga dalam mengakses dan menggunakan kesempatan, layanan, sumber daya serta ruang kota akibat kesenjangan ekonomi, sosial, pendidikan dan budaya yang telah ada sebelumnya,” kata Andesh dalam keterangan yang diterima Farah.id.

Sebagai arsitek yang membangun ulang Kampung Akuarium, Jakarta Utara dengan pendekatan desain yang partisipatif, Andesh juga mengingatkan bahaya tata kelola ruang yang sentralistis.  

Menurutnya, sentralisasi akan mengeksploitasi pemanfaatan sumber daya ekonomi lokal dan menghancurkan identitas, sejarah, pengetahuan, budaya, serta kearifan lokal. Oleh karena itu, desentralisasi penting untuk dipertahankan jika ingin menjamin partisipasi publik dan meningkatkan rasa memiliki atas kota.

Sementara itu, Suci Fitriah Tanjung, Direktur Eksekutif WALHI Jakarta, menyoroti keterkaitan RUU PDKJ dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 78 Tahun 2023 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional yang merupakan Perubahan atas Perpres No. 62 Tahun 2018.

Menurutnya, Perpres tersebut akan memudahkan Gubernur melangsungkan pengadaan dan pemanfaatan tanah demi pembangunan nasional. Dalam Perpres tersebut, proses dan solusi pengadaan dan pemanfaatan tanah menjadi lebih ringkas karena hanya melalui mekanisme santunan uang dan/atau permukiman kembali.

“Inti dari RUU PDKJ sebenarnya ingin menjadikan Jakarta sebagai Pusat Perekonomian Nasional dan Kota Global serta mendatangkan investasi sebesar-besarnya dengan jaminan dukungan Presiden melalui Gubernur yang ditunjuk langsung. Nah, Perpres No. 78/2023 akan berfungsi memuluskan ambisi tersebut. Tidak hanya Jakarta, kota dan kabupaten di sekitarnya pun ikut dikendalikan melalui Dewan Kawasan Aglomerasi yang dipimpin langsung oleh Wakil Presiden,” ungkap perempuan yang ikut berperan dalam memenangkan gugatan warga atas polusi udara di Jakarta (2021-2023) ini.

Padahal menurut Suci, tanpa adanya kontrol dan intervensi pusat yang berlebihan semacam itu saja, perampasan ruang hidup warga masih berlangsung. Konflik ruang di Pulau Pari adalah salah satu contohnya.

Warga yang telah bertahun-tahun hidup di Pulau Pari dan pulau-pulau lainnya, masih terancam tersingkir. Kepulauan Seribu sendiri telah kehilangan enam pulau akibat eksploitasi sumber daya alam, seperti pencurian pasir dan abrasi. Adapun 110 pulau yang tersisa saat ini tengah menghadapi ancaman tenggelam karena naiknya permukaan air laut akibat krisis iklim.

Kekuatiran lain datang dari Miya Irawati, akademisi dan peneliti senior Public Virtue Research Institute. Pengalaman kegagalan advokasi kebijakan selama ini, menurutnya, akibat praktik curang rezim dengan mengecoh perhatian publik atau menciptakan konflik horizontal.

“Potensi disahkannya RUU PDKJ ini sangat besar. Pertama, karena minimnya kesadaran publik yang perhatiannya didominasi oleh berita-berita terkait Pilpres dan Pemilu. Kedua, sebagai fasilitas kekuasaan pemerintahan pusat yang absolut, UU PDKJ pasti akan menggiurkan kelompok politik manapun. Ketiga, adanya tuntutan sebuah kelompok masyarakat yang diklaim menginginkan Presiden menunjuk langsung Gubernur berdasarkan pertimbangan DPRD.”

Miya yang merupakan kandidat penerima Aga Khan Award for Architecture 2022 menyatakan harapan untuk membesarnya gerakan penolakan RUU PDKJ.

“Tidak ada yang tak mungkin. Meskipun ada kemungkinan RUU PDKJ akan disahkan pada Januari 2024 mendatang atau hanya tersisa beberapa hari lagi, namun justru dengan memanfaatkan libur Nataru, kami berharap warga Jakarta memperbincangkan masalah ini, tergerak ikut menolak demi membela ruang hidup dan hak-haknya. Dan petisi ini adalah pemicunya,” pungkas Miya.

Petisi membatalkan RUU Provinsi Daerah Khusus Jakarta (PDKJ) dapat diisi melalui tautan: https://bit.ly/PetisiKeprihatinanJakarta.




Gunung Lewotobi Kembali Meletus Disertai Gemuruh, Warga Diimbau Tetap Tenang dan Waspada

Sebelumnya

Timnas Indonesia Raih Kemenangan 2-0 atas Arab Saudi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News