WARGA kampung merasa risih, karena ustadzah muda yang masih berstatu pengantin baru itu membuat keresahan. Ia selalu pamer kemesraan di depan publik, setiap pagi dan sore berjalan kaki keliling kampung sambil menggelayut manja di tangan suami tercinta, bahkan sesekali memeluknya erat.
Bisa dimaklumi, karena ustadzah itu sebelumnya tidak melewati proses pendekatan. Ia menikah karena perjodohan keluarga. Namun begitu senang dan bersyukurnya, karena mendapatkan suami yang sungguh rupawan dan terpandang. Jadilah masa pengantinnya sebagai kesempatan untuk bermanja dan bermesraan.
Tapi, warga tidak sanggung menanggung beban batin saat melihat pengantin baru itu bermesraan di ruang publik. Menurut mereka, cukuplah dirumah, tak perlu dipamerkan di pelupuk mata. APalagi, budaya setempat tidak melazimkan suami istri berjalan bermesraan di muka umum.
Namun sebagaimana pasangan di mabuk asmara, sang ustadzah tidak mempedulikan omongan tetangga. Ia juga memiliki alas an kuat, lantaran dirinya dan suami sudah halal dalam aturan agama.
Sebagaimana Nabi Muhammad Saw yang juga bermesraan di alam terbuka, yaitu ketika beliau dan Aisyah melakukan lomba lari. Sebagaimana dikisahkan oleh Ahmad Salim Baduwilan dalam buku Aisyah; Kekasih Nabi Dunia Akhirat (2021: 25):
Diriwayatkan dari Urwah, dari Aisyah ia berkata: “Nabi sesekali mengajakku lomba lari dan aku pun sering memenangkannya. Suatu saat ketika tubuhku sudah gemuk, beliau Kembali mengajakku lomba lari dan ternyata beliau memenangkannya”.
Lalu beliau pun berkata: “Wahai Aisyah, kemenanganku ini untuk membalas kekalahanku yang dulu”.
Lomba lari yang menampilkan kemesraan Nabi dan Aisyah memang dilakukan di alam terbuka. Bedanya, tidak menjadi santapan publik karena dilakukan di kawasan gurun sepi dalam keremangan pagi.
Begitu pula saat dagu Aisyah bersandar di bahu Rasulullah saat menyaksikan pertunjukan orang-orang Habasyi di pelataran masjid. Tapi, itu juga dari dalam kamar dan posisi Aisyah tidak terlihat orang lain.
Bagaimana kisah mesra itu diketahui publik? Ya, dari penuturan Aisyah sendiri.
Tetapi bukan tidak pernah publik melihat langsung kemesraan Rasulullah dan istrinya. Pernah mereka melihat Rasulullah memanggil mesra Aisyah dengan sebutan Humaira (yang pipinya kemerah-merahan). Saat itu, eksprei mesra terlihat jelas. Tapi, itu masih dalam batas wajar.
Lain cerita dengan sang ustadzah yang melakukan ekspresi kemesraan dan kontak fisik di depan umum. Secara fikih memang tidak ada yang dilanggar, sebab hukum Islam membolehkan kemesraan dua insan yang telah sah menjadi suami istri. Mereka juga diperbolehkan berhubungan intim.
Lalu, masalahnya di mana?
Dalam surat An-Nur ayat 58 dijelaskan: “Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah hamba sahaya (laki-laki dan Perempuan) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig (dewasa) di antara kamu, meminta izin kepada mu pada tiga kali (kesempatan), yaitu sebelum salat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar) mu di tengah hari, dan setelah salat isya. (Itulah) tiga aurat (waktu) buat kamu”.
Dalam ayat ini diungkap, ada ruang khusus bagi suami istri untuk bermesraan, yaitu kamar. Untuk menjaga privasi, ada tiga waktu di mana anak-anak tidak diperbolehkan masuk ke kamar orang tuanya, yaitu sebelum salat subuh, di waktu siang, dan setelah salat isya.
Memang, di wilayah perkotaan atau di negara-negara barat, kemesraan di depan publik tidak menjadi perbincangan. Sebab, gaya individualis membuat orang-orang tidak peduli dengan lingkungan sekitar.
Akan tetapi, di daerah-daerah tertentu ada urf atau tradisi yang dijunjung tinggi Masyarakat. Hukum semacam ini dalam kaidah Islam diakomodir, karena mengandung kemaslahatan.
Tidaklah rugi bagi pasangan suami istri menunda kemesraan, karena masih bisa melakukannya di ruang privasi. Mereka bisa memanfaatkannya untuk berbagai kegiatan atau aktivitas yang sifatnya sangat pribadi.
KOMENTAR ANDA