Ilustrasi stop kekerasan terhadap perempuan, stop femisida intim/VOA Indonesia
Ilustrasi stop kekerasan terhadap perempuan, stop femisida intim/VOA Indonesia
KOMENTAR

DI INDONESIA, perempuan dan kekerasan seperti tidak bisa dilepaskan. Sudah begitu banyak perempuan yang harus meregang nyawa karena kekerasan fisik yang diterima. Kekerasan itu datang dari orang terdekat, yang seharusnya melindungi sesuai janji pernikahan. Ya, orang itu adalah suami.

Kasus ini kemudian dikenal dengan sebutan “Femisida Intim”, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya pembunuhan seorang perempuan oleh laki-laki karena kebenciannya terhadap lawan jenis.

Istilah ini pertama kali digunakan oleh Diana Russel pada International Tribunal on Crimes Against Women (1976) dan menempatkannya sebagai ‘pembunuhan misoginis terhadap perempuan oleh laki-laki’.

Sementara, menurut Sidang Umum Dewan Hak Asasi Manusia PBB, femisida intim adalah pembunuhan terhadap Perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan, dan pandanga terhadap Perempuan sebagai kepemilikan, sehingga boleh berbuat sesuka hati.

Kasus tertinggi di 2023

Komnas Perempuan melaporkan, femisida intim telah menjadi kasus pembunuhan tertinggi sepanjang 2023. Hal ini disampaikan Siti Aminah, anggota Komnas Perempuan.

“Kasus pembunuhan yang dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar, atau pasangan kohabitasi yang mencapai 67% dari total kasus. Tercatat, ada 64 kasus kekerasan terhadap istri, 33 kasus kekerasan dalam pacarana, 11 kasus kekerasan mantan pacar, dan 1 kekerasan mantan suami,” papar Siti.

Gengsi maskulinitas

Lagi-lagi budaya patriarki, yang menempatkan derajat laki-laki jauh lebih tinggi dari perempuan, menjadi salah satu pemicu. Secara umum, penyebabnya adalah ketersinggungan makulinitas, marah karena didesak bertanggung jawab atas kehamilan, menghindari tanggung jawab materi, erta kecewa ditolak cinta.

Cemburu, memaksa pelayanan maupun pemenuhan transaksi seksual, konflik di dalam rumah tangga, menolak dicerai, atau melakukan perlawanan saat diperkosa, juga menjadi penyebab tingginya angka kasus femisida.

Pentingnya edukasi dan sosialisasi

Semua tentu setuju, kasus femisida intim harus segera ditangani dan dihentikan. Satu-satunya cara adalah dengan mengedukasi dan melakukan sosialisasi yang sangat gencar. Dare to speak up, berani untuk berbicara ketika melihat atau menjadi korban kekerasan, sangat penting untuk mencegah hilangnya nyawa.

Tidak hanya menuntut negara membuat peraturan yang tegas, namun masyrakat juga harus saling mendukung, memberdayakan, dan mengadvokasi korban serta keluarga. Juga Bersama-sama mengawasi, mengkampanyekan, dan menuntut penyelesaian kasus femisida ini hingga ke akarnya.




Kementerian Agama Luncurkan Program “Baper Bahagia” untuk Dukung Ketahanan Pangan Masyarakat Desa

Sebelumnya

Fitur Akses Cepat Kontak Darurat KDRT Hadir di SATUSEHAT Mobile

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News