SAKINAH nyatanya juga bisa diperoleh meski seseorang tidak menikah. Begitu pun sebaliknya, menikah bukanlah jaminan sakinah sudah dipastikan akan diperoleh. Hakikat sakinah dapat diraih dengan meraih kemurnian mahabbatullah (cinta pada Allah).
Sejumlah ulama besar seperti Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Imam Nawawi, Ibnu Taimiyyah dan sebagainya ternyata tidak menikah. Karena mereka tenggelam dalam mahabbatullah, sibuk dengan ilmu keagamaan, tetapi toh mereka tetap berhasil menemukan jalan untuk meraih sakinah yang hakiki.
Apakah itu?
Sebagaimana yang diterangkan pada surat Al-Fath ayat 4, yang artinya, “Dialah yang telah menurunkan ketenangan (sakinah) ke dalam hati orang-orang mukmin untuk menambah keimanan atas keimanan mereka (yang telah ada).”
Agama Islam mendorong penganutnya untuk menikah, Nabi Muhammad memotivasi agar berkeluarga, yang di antara tujuannya adalah meraih sakinah. Karena alasan tertentu yang menyertainya, para ulama besar itu belum berkesempatan menikah dan siapa pun layak menghormati takdir mereka.
Akan tetapi dengan ayat ini hendaknya kita yang lagi menjalankan sunnah Rasul berupa pernikahan memiliki visi yang jelas tentang hakikat sakinah. Tidak ada garansi menikah pasti mendapatkan sakinah, karena sakinah itu perkara yang harus diperjuangkan. Jangan sampai orang yang tidak menikah berhasil meraih sakinah sedangkan yang berumah tangga justru tidak merasakannya.
Ayat di atas merupakan penjelasan yang sangat cemerlang tentang sakinah, bahwasanya ketenangan (sakinah) itu diturunkan oleh Allah ke dalam hati orang-orang beriman.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitab Madarijus Salikin (1998: 410) menerangkan:
Makna sakinah adalah ketenangan dan thuma 'ninah yang diturunkan Allah ke dalam hati hamba-Nya ketika mengalami keguncangan dan kegelisahan karena ketakutan yang mencekam. Setelah itu dia tidak lagi merasakannya, karena ketakutan itu sudah disingkirkan, sehingga menambah imannya, kekuatan keyakinan dan keteguhan hatinya.
Karena itu Allah mengabarkan ketenangan yang diturunkan-Nya kepada Rasulullah saw. dan kepada orang-orang mukmin ketika mereka dalam keadaan cemas dan gelisah, seperti saat hijrah, yaitu ketika beliau danAbu Bakar bersembunyi di dalam gua, sementara musuh-musuh beliau ada di atas kepala. Andaikan di antara mereka ada yang melongok ke bawah, tentulah mereka akan melihat beliau dan Abu Bakar.
Begitu pula pada saat perang Hunain, karena pasukan Muslimin melarikan diri setelah mendapatkan gempuran serangan musuh. Sebagian di antara mereka tidak memedulikan nasib sebagian yang lain.
Begitu pula saat perjanjian Hudaibiyah, ketika hati mereka dirasuki perasaan cemas dan gelisah atas sikap orang-orang kafir, yang memaksakan syarat-syarat perjanjian yang harus diterima orang-orang muslim.
Dari contoh-contoh di atas, terlihat sakinah itu dihubungkan dengan berbagai masalah-masalah besar dalam rangkaian peristiwa yang berat. Bayangkan, dalam kegentingan perang pun sakinah itu bisa hadir di hati orang-orang yang beriman.
Itu maknanya, jangan terlalu berlebihan dalam memandang masalah-masalah rumah tangga, sebab tidak akan ada yang segenting peperangan. Konflik suami istri bukanlah penghalang karena kondisinya tidak bahaya seperti dalam pertempuran. Apabila kita menyediakan wadah keimanan yang kokoh, niscaya mudah rasa sakinah itu hadir bagi suami istri.
Sayyid Qutb pada Tafsir Fi Zhilalil Qur`an Jilid 10 (2004: 379) menerangkan terkait ayat di atas:
Kemudian Allah menurunkan ketenteraman ke dalam kalbu mereka. Sehingga, mereka kembali kepada kerelaan, keyakinan, dan penerimaan yang tulus dan dalam seperti halnya saudara-saudara mereka yang sejak awal berada dalam ketenteraman.
Misalnya, Abu Bakar ash-Shiddiq yang tidak pernah kehilangan kontak sekejap pun dengan batin Rasulullah Karena itu, dia selalu tenang dan tidak pernah gelisah. Karenanya, pada permulaan surat disajikan berita gembira bagi Rasulullah yang membuat kalbunya yang besar merasa sangat senang.
Pada pembukaan surat pun disajikan anugerah ketenteraman yang diberikan kepada kaum mukminin, pengakuan mereka atas keimanan, dan pemberian kabar gembira bahwa mereka akan meraih ampunan, pahala, dan pertolongan dari langit melalui tentara Allah.
Bersyukurlah mereka yang telah menikah sehingga kesempatan meraih sakinah terbuka selebar-lebarnya. Namun, bukan pada rumah tangga itu terdapat garansi sakinah. Sakinah adalah anugerah dari Allah yang diberikan kepada hati hamba-hamba-Nya yang menyediakan wadah keimanan.
Abu Bakar adalah sahabat setia Rasulullah, dalam mengarungi berbagai marabahaya, dia dapat merasakan sakinah. Dekat dengan Nabi Muhammad membuatnya menyadari bahwa kabar gembira akan meraih ampunan, mendapatkan pahala, dan datangnya pertolongan dari Allah menciptakan sakinah yang hakiki di hati.
Apabila sakinah itu telah bertakhta di hati, maka jangan pernah berpuas diri. Sesuai dengan surat Al-Fath ayat 4, yang artinya, “untuk menambah keimanan atas keimanan mereka (yang telah ada).” Maksudnya, teruslah menambah keimanan itu secara terus-menerus sehingga sakinah yang diturunkan Allah itu selalu mendapatkan wadah terbaik.
KOMENTAR ANDA