Sejumlah aktivis perempuan di Kenya mendesak segera dihentikannya femisida/CNN
Sejumlah aktivis perempuan di Kenya mendesak segera dihentikannya femisida/CNN
KOMENTAR

ENTAH mengapa perempuan begitu lekat dengan aksi kekerasan, selalu menjadi korban meskipun peraturan perundang-undangan begitu tegas menghukum para pelaku. Nyawa Perempuan sudah seperti kertas yang mudah disobek, diremukkan, lalu dibuang dan dihancurkan begitu saja.

Berdasarkan Sidang Umum Dewan HAM PBB, femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan, dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hati. Sudah banyak negara yang meneriakkan perihal femisida ini.

Indonesia pun gencar bersuara tentang hak-hak hidup perempuan yang masih ‘terabaikan’. Dan kini di Kenya, seluruh aktivis perempuan menggelar unjuk rasa besar-besaran pada Sabtu (27/1/2024), menuntut penghentian femisida yang sudah dianggap sangat memilukan.

Protes berskala nasional yang diberi judul “Pawai Feminis Melawan Femisida” ini berlangsung di 11 kota di Kenya, yaitu Nairobi, Mombasa, Kisumu, Nakuru, Eldoret, Homabay, Turkana, Kilifi, Machakos, Kisii, dan Nyeri.

Bukan tanpa alasan kuat aksi ini berlangsung. Dalam satu bulan terakhir, total ada 16 perempuan yang tewas dalam serangkaian pembunuhan mengerikan. UN Women menunjukkan, Afrika adalah negara yang mencatat jumlah pembunuhan terhadap pasangan dan keluarga tertinggi di dunia, dengan perkiraan korban 20 ribu jiwa.

Lain lagi dengan studi yang dilakukan Africa Data Hub, di mana ada sekitar 500 korban femisida dalam rentang 2016 hingga 2024. Jumlah tersebut seperti meyakinkan bahwa hukum yang berlaku tidak ‘menakutkan’ pelaku.

Konstitusi Kenya 2010 menjamin bahwa hal-hal Perempuan dan anak perempuan dilindungi berdasarkan Pasa 27. Lalu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Kenya juga mengatur hukuman atas kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.

Pantas jika kemudian perempuan Kenya dan sejumlah aktivis melawan femisida. Gerakan ini pertama kali dicetuskan pada 2019. Aksi mereka mendapat dukungan sejumlah organisasi HAM, termasuk Amnesty Internasional.

“Kami menyerukan kepada seluruh warga Kenya untuk keluar dan bersuara, melawan peningkatan kekerasan yang melanggar hukum internasional dan Kenya, serta menimbulkan ancaman nyata terhadap kehidupan perempuan dan anak perempuan,” bunyi pernyataan Amnesty International.




Gunung Lewotobi Kembali Meletus Disertai Gemuruh, Warga Diimbau Tetap Tenang dan Waspada

Sebelumnya

Timnas Indonesia Raih Kemenangan 2-0 atas Arab Saudi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News