Siapa yang akan dipilih? Perempuan harus jadi penentu/Freepik
Siapa yang akan dipilih? Perempuan harus jadi penentu/Freepik
KOMENTAR

SEORANG perempuan paruh baya mengatakan, karena tidak mungkin menikah dengan lelaki yang kucintai, maka aku menikah dengan lelaki yang mencintaiku. Begitulah caranya menjatuhkan pilihan, dan boleh saja komentar orang-orang muncul bermacam ragam. Tetapi dalam urusan pernikahan, setidaknya perempuan itu telah membuat suatu pilihan.

Dalam epidose yang berbeda, kini perempuan tersebut kembali kebingungan dengan tiga opsi calon presiden, padahal hari pencoblosan sudah dekat. Akhirnya, dia pun memakai jurus yang lama, kali ini dia akan memilih calon pemimpin yang dipandangnya akan mencintai dirinya sebagai rakyat biasa.

Berabad-abad yang lampau, di malam yang gulita, 73 pria secara sembunyi-sembunyi menemui Nabi Muhammad. Mereka harus melakukannya secara diam-diam. Karena begitu ketahuan pihak musyrikin Quraisy, nyawa yang jadi taruhannya. Dalam suasana ikrar yang demikian syahdu, masih tercatat 2 orang lagi muslimah asal Yatsrib (Madinah) yang hadir.

Amatullah Shafiyyah dalam bukunya Kiprah Politik Muslimah Konsep dan Implementasinya (2003: 32-33) menerangkan:

Mereka datang dalam jumlah lebih banyak lagi yaitu 73 orang dan dua orang wanita. Baiat ini disebut sebagai Baiat Aqabah Kedua atau lazim disebut juga Baiatunnisaa' dalam beberapa kitab sirah karena keterlibatan para perempuan di dalamnya.

Ka’ab bin Malik berkata, “Malam itu kami tidur bersama kaum kami di kemah kami. Setelah sepertiga malam sudah berlalu, kami keluar dari kemah seperti janji yang sudah kami sepakati dengan Rasulullah saw. Kami mengendap-endap untuk dapat berkumpul di sebuah celah di bukit Aqabah.

Ada dua orang perempuan yang ikut serta, yaitu Nusaibah binti Ka'ab bin Amr bin Mazin bin An-Najjar, Ummu Amarah. Dia datang pada malam Aqabah dan juga berbaiat pada Rasulullah saw. Dia pulang dan mengajak para perempuan di Madinah untuk masuk Islam. Yang kedua ialah Asma binti Amr bin Nabi, salah seorang perempuan Bani Salamah, Ummu Mani.”

Baiat ini menjadi tonggak berdirinya sistem Islam dalam wujud sebuah negara berdaulat. Dan, para muslimah Anshar menyadari itu sebagai amanah yang harus mereka tunaikan.

Peristiwa itu dikenal sebagai Baiat Aqabah Kedua dan disebut juga Baiat Nisa disebabkan hadirnya muslimah, yakni Nusaibah binti Ka’ab atau disebut juga Ummu Amarah dan Asma binti Amr atau dipanggil Ummu Mani.

Akhirnya janji setia kepada Nabi Muhammad itu bocor juga ke pihak Quraisy. Para begundal musyrikin pun menggerebek, tapi di pagi hari semua orang-orang Madinah telah lenyap dari perkemahan. Mereka berhasil meloloskan diri.

Cukup hanya dengan hadirnya dua perempuan maka ikrar setia itu juga dikenal dengan Baiatunnisa, atau Baiat Perempuan karena kehadiran mereka mempertaruhkan nyawa tidak bisa diabaikan dalam peta politik Islam.

Ujung kisahnya sama-sama kita ketahui, baiat kesetiaan itu menjadikan Nabi Muhammad sebagai pemimpin tertinggi di Madinah. Dan dari sanalah berdiri negara Islam yang kemudian pengaruhnya terus menyebar ke berbagai penjuru dunia. Tolong jangan lupakan peran dua muslimah dalam janji setia kepada Rasulullah.

Tentunya sejak zaman Rasulullah kaum perempuan sudah terlibat dalam politik kekuasaan, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Sekalipun hidup dalam peradaban padang pasir yang sangat patriarkhi, muslimah mampu menjadikan keindahan batin mereka sebagai penghias peta politik.

Dengan jumlah pemilih perempuan yang sangat banyak, mestinya kaum hawa menjadi pihak yang menentukan dalam kancah perpolitikan Tanah Air. Dengan mulai terbukanya gerbang perempuan berkiprah di politik, hendaknya mereka bukan penggembira melainkan juga penentu.

Dan yang paling diharapkan adalah energi cinta yang ditebarkan kaum hawa hendaknya menjadi penyejuk pesta demokrasi kali ini. Kita tidak menginginkan terjadinya huru-hara apalagi malapetaka, dan semoga saja politik cinta perempuan dapat mendamaikan suasana.

Ada benarnya kaum hawa yang mengandalkan jurus menjatuhkan pilihan kepada calon pemimpin yang diyakini mencintai rakyat. Sebab dengan cinta kita dapat berharap limpahan kebajikan akan mengalir. Namun, akan menjadi suatu kekecewaan mendalam apabila pemimpin dipilih kaum perempuan ternyata tidak mencintai rakyatnya.




Lupakanlah Segala yang Membuatmu Sakit

Sebelumnya

Konflik Suami Istri Ibarat Sendok dan Piring

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur