NENEK tua itu berjualan gudeg di emperan jalan. Dua anaknya berkuliah di Universitas Gajah Mada (UGM), dua lagi kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB), dan satu anak lagi di Universitas Indonesia (UI) Semuanya kampus top dan mereka masuk tanpa beasiswa, biaya pribadi si nenek.
Fakta ini membuat si mbah menjadi viral. Orang-orang antusias bertanya, “Bagaimana Mbah menyelesaikan masalah?”
“Masalah itu apa?” Si Mbah malah kebingungan.
Kemudian pertanyaan diganti lebih sederhana, bagaimana si mbah harus membayar kuliah anak-anak yang mahal-mahal? Bagaimana memberi biaya bulanan sebanyak itu?
Dengan polosnya Si Mbah menjawab, “Tinggal minta sama Gusti Allah! Pas butuh bayaran ada saja yang borong gudeg.”
See!
Untuk lebih jelasnya, mari kita bandingkan dengan episode lain di sebuah gedung pertemuan. Dulu, ada seorang lelaki tampan rupawan bertindak sebagai narasumber di pelatihan kepemimpinan yang berseru, “Hidup ini banyak masalah. Bahkan kehidupan itu sendiri adalah sebuah permasalahan.”
Para peserta pelatihan kemudian menjadi pemimpin dan sebagian menjadi politikus handal. Kalimat menggelegar dari narasumber itu masih membekas di benak mereka.
Dari cerita di atas, kita dihadapkan oleh dua kutub berbeda. Seorang nenek tua penjual gudeg yang tidak tahu “masalah” itu apa, karena cukup bersandar kepada kebesaran Allah, niscaya hidup akan dimudahkan.
Di sisi lain, ada seorang pria berpendidikan tinggi yang meyakini hidup ini tumpukan masalah. Bahkan dia mengikrarkan bahwa kehidupan itu sendiri sudah merupakan persoalan. Saking cerdasnya, dia mampu dengan cepat mendeteksi bahwa masalah hidupnya itu banyak sekali. Dan sebagai manusia, dia harus bertarung mati-matian menghadapi rentetan masalah yang tidak ada selesainya.
Pilih yang mana?
Apabila berpegang pada prinsip si mbah, hidup akan tenang bersama naungan Ilahi. Insyaallah, terhindar dari stres ataupun stoke. Kehidupan dapat dinikmati sebagai sebuah anugerah. Nenek itu tidak berpendidikan mumpuni, dia hanya berbekal keimanan pada di dada.
Sedangkan, jika berpegang pada prinsip narasumber yang tampan berdasi serta berpendidikan tinggi, maka kehidupan ini akan terdeteksi banyak sekali masalahnya. Kita ibarat hidup di dalam gua, begitu keluar langsung dikepung ular berbisa, singa, harimau, serigala dan lainnya.
Perspektif ini menggiring betapa hidup banyak sekali masalahnya, sehingga kita selalu terancam karena merasa tidak terlindungi, mati-matian bertarung demi selembar kehidupan.
Pilihan kembali pada diri kita masing-masing. Namun, ada bijaknya jika sebelum menentukan pilihan, ditelaah dulu bagaimana Islam memandang kehidupan ini.
Surat an-Naml ayat 62, yang artinya: “Apakah (yang kamu sekutukan itu lebih baik ataukah) Zat yang mengabulkan (doa) orang yang berada dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, menghilangkan kesusahan, dan menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah (pemimpin) di bumi? Apakah ada tuhan (lain) bersama Allah? Sedikit sekali (nikmat Allah) yang kamu ingat.”
Hamka pada Tafsir al-Azhar Jilid 6 (2020: 542) menjelaskan, pangkal ayat ini pun berupa pertanyaan, tetapi berisikan penjelasan, bahwasanya tidak ada yang sanggup memberikan pertolongan kepada orang yang sedang terdesak, tertekan oleh suatu kesulitan, selain Allah jua.
Sekalipun pintu sudah tertutup, pengharapan seakan-akan telah putus, gelap semata-mata di kiri dan kanan; maka apabila dipusatkan segala harapan dan ditumpukan pengharapan hanya kepada Allah, niscaya Allah akan melepaskan dari kesulitan itu.
Sesungguhnya, bersandar pada Allah bukanlah tanda kelemahan, tetapi tanda kebesaran hati dan keimanan yang kuat. Ketika mengarahkan segala harapan dan kepercayaan kepada-Nya, maka kita melepaskan diri dari beban dan ketakutan yang menghimpit.
Karena muncul keyakinan bahwa Allah akan membantu kita melewati setiap rintangan. Ini bukanlah jaminan bahwa hidup akan bebas dari tantangan, tetapi adalah keyakinan bahwa kita tidak akan pernah sendirian selama bersandar hanya pada Allah.
KOMENTAR ANDA