DENGAN berlalunya peringatan Isra Mikraj, hendaknya bukan menjadi akhir, melainkan awal baru bagi kita untuk mencerna dan mengamalkan saripatinya. Setelah kita takjub dengan Buraq atau perjalanan ke langit dan sebagainya, maka ketakjuban yang tertinggi itu hendaknya ditujukan dan dipelihara secara konsisten terhadap shalat. Karena shalat adalah saripati utama dari Isra Mikraj tersebut.
Hendaknya seusai peringatan Isra Mikraj, kita jadi rajin bertanya, apa tujuan dari menunaikan shalat?
Shalat yang wajib saja ada lima kali sehari semalam yang kita tunaikan, belum lagi shalat-shalat sunnah, maka akan memperihatinkan apabila rangkaian shalat yang panjang itu ditunaikan tanpa memahami tujuannya.
Syukurnya, Allah Swt. sudah memberikan petunjuk dalam kitab suci. Surat Thaha ayat 14, yang artinya, “Maka, sembahlah Aku dan tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku.
Bukan hanya sekadar perintah, Allah memberikan kita kewajiban shalat, melainkan dilengkapi dengan suatu tujuan terpenting, yakni li zikri atau mengingat-Ku (Allah).
Singkat kata, shalat yang ditunaikan tidak akan sampai pada tujuannya, jika kita tidak mampu mengingat Allah. Ketika dalam melaksanakan shalat, jiwa kita malah mengembara dan pikiran justru mengingat perkara lain, maka itulah shalat yang tidak sampai pada tujuannya.
Sehingga, ibarat musafir, kita berjalan teramat jauh dan sangat lelah tetapi tidak pernah sampai ke tujuan. Tentulah kondisi demikian menjadi sangat memprihatinkan!
Dari itu, cermatilah dengan seksama, jangan-jangan selama ini shalat kita tidak pernah sampai pada tujuannya.
Darwis Abu Ubaidah pada Tafsir Al-Asas (2012: 167) menjelaskan:
Shalat dan zikir adalah dua hal yang sangat erat hubungannya antara satu sama lainnya. Karena orang yang shalat akan berupaya untuk senantiasa zikir atau ingat kepada Allah, dan orang yang banyak ingat kepada Allah akan merasa bahwa dirinya senantiasa dilihat dan diawasi Allah Yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Kondisi "merasa" dilihat dan diawasi Allah, inilah yang dalam hadis Nabi disebut ihsan.
Tujuan shalat itu adalah zikrullah atau mengingat Allah. Selama menegakkan shalat dan jiwa kita mampu konsisten menjaga ingatan terhadap Allah semata, maka di sanalah tujuannya berhasil kita peroleh.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah pada bukunya Dzikir Cahaya Kehidupan (2023: 106) mengungkapkan:
Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa sebuah ibadah shalat dapat dikatakan telah tegak ketika seorang hamba dalam keadaan mengingat Allah Swt. Kemudian, jika seorang hamba mengingat Allah Swt. maka Dia telah mengingatnya lebih dulu dengan zikir yang dia lakukan. Ketika seorang hamba mengingat Allah Swt. maka Dia telah memberikan ilham kepadanya untuk berzikir kepada-Nya.
Hakikat zikir adalah mengingat Allah. Itu pula yang hendaknya dituju bagi mereka yang menegakkan shalat. Zikir dan shalat tidak dapat dipisahkan, mengingat ibadah shalat adalah perjuangan untuk senantiasa ingat pada Tuhan.
Syaikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr pada buku Fiqih Do'a dan Dzikir Jilid 1 (2022: 42) menjelaskan:
Yakni, mendirikan shalat dengan tujuan agar zikir kepada Allah. Dalam hal ini terdapat penjelasan akan besarnya kedudukan shalat. Sebab, ia adalah merendahkan diri kepada Allah berdiri di hadapan-Nya, memohon pada-Nya serta menegakkan zikir pada-Nya. Atas dasar ini, maka shalat adalah zikir.
Hal itu karena zikir adalah ruh shalat, intinya, dan hakikatnya. Orang yang paling besar pahalanya dalam shalat adalah orang yang paling kuat, paling keras, dan paling banyak zikirnya pada Allah.
Jiwa kita akan lelah jika terus mengembara tetapi tidak mencapai tujuannya. Shalat sebagai tiang agama hendaknya dipahami juga memiliki tujuan. Jangan sampai terjadi shalat yang tidak mencapai tujuan hanya disebabkan jiwa yang gagal dalam mengingat Allah.
KOMENTAR ANDA