DALAM sejarahnya yang panjang, pizza telah menorehkan reputasi cemerlang. Kuliner asal Italia ini melambung citranya setelah melalui rentetan episode yang semakin mengukuhkan eksistensinya. Dan, perkembangan pizza juga tak terlepas dari adanya campur tangan kalangan istana.
Albertin Hoesni dalam buku Hidangan Favorit ala Resto & Cafe Italia (2016: 6-7) mengungkapkan, Naples memiliki beberapa catatan tentang pizza sejak sekitar tahun 1000; sebutan awal untuk roti ceper ini adalah Laganae, kemudian mereka memilih menyebutnya sebagai Picea.
Kala itu, pizza sudah diisi dengan bawang putih dan minyak zaitun, atau keju dan anchovy, ataupun ikan kecil lokal. Pizza-pizza itu dibakar secara terbuka di atas api dan kadang-kadang dilipat jadi dua seperti buku untuk membentuk Pizza Calzone.
Meskipun Anda dapat menemukan beberapa tipe pitas atau pizza di sekitar Timur Tengah, bentuk pizza yang kita ketahui sekarang ini pertama kali muncul di Naples, setelah tomat muncul pada tahun 1700.
Di tahun 1830, toko pizza pertama dibuka dengan oven pembakaran dari balok kayu yang ditutup dengan batu lahar dari Vesuvius. Pizza menjadi populer, memberikan penghasilan bagi rakyat Neapolitan. Karena mudah dan murah, pizza menjadi makanan bagi semua orang, sekalipun dijual di jalan-jalan.
Ada sebuah kisah yang terkenal secara luas hingga ke seluruh kota di luar Naples mengenai popularitas pizza. Terjadi di tahun 1889, saat Ratu Margherita mengunjungi kota. Dia menanyakan pizza dan ingin mencicipinya. Juru masak terkenal bernama Don Raffaele, dengan dibantu istrinya Donna Rosa, diundang untuk memasak pizza di istana.
Mereka menyiapkan 3 macam pizza yang khas waktu itu: satu diisi keju dan basil, satu lagi diisi bawang putih, minyak, dan tomat, dan yang terakhir diisi mozarella, basil, dan tomat. Sang Ratu terkesan dengan warna-warna pizza terakhir yang menyerupai bendera nasional, sehingga dipilihlah pizza tersebut. Sejak saat itu, pizza ini dikenal dengan nama Pizza Margherita dan Don Raffaele tertulis sebagai penciptanya, sekalipun kita sudah tahu bahwa pizza itu sudah ada sejak waktu lama.
Sebetulnya, pizza merupakan kuliner yang datang dari mancanegara, tetapi popularitasnya yang luar biasa menjadikan pizza mudah diperoleh di mana-mana. Mulai dari kelas restoran hingga warung pinggir jalan, sampai penjaja gerobak pun telah banyak yang menjual pizza. Di Indonesia pun pizza bukan lagi sesuatu yang langka.
Kemudian kita perlu menerima kenyataan bahwa pada pizza yang lezat itu banyak sekali titik kritis yang membuatnya sangat rawan dimasuki bahan-bahan haram. Terigu, susu, gula pasir, ragi, keju, daging, sosis, saus dan lainnya, sangat potensial menggunakan bahan-bahan yang dilarang agama.
Untuk meringkas pembahasan, berikut ini beberapa contoh saja titik kritis dari pizza, sebagaimana dilansir oleh halalmui.org, bahwasanya dari sisi kehalalannya, bahan baku tepung terigu tidak ada masalah. Akan tetapi, penggunaan beberapa bahan dalam proses fortifikasi maupun yang bertujuan meningkatkan sifat fungsional terigu, perlu dikritisi kehalalannya.
Sebagai contoh vitamin B2 (riboflavin), merupakan produk mikrobial di mana media pertumbuhannya harus dipastikan bebas dari bahan haram dan najis. Contoh lain adalah L-sistein (biasanya dalam bentuk hidrokloridanya) yang perlu diketahui asal bahannya untuk memastikan kehalalannya.
L-sistein yang murah, yang banyak tersedia di pasaran, adalah L-sistein yang dibuat dari rambut manusia. Tentu saja karena berasal dari bagian tubuh manusia, maka L-sistein ini haram.
Ragi banyak dipakai pada produk-produk bakery sebagai bahan pengembang (bread improver). Ragi adalah produk microbial, sehingga kehalalan komposisi media produksi serta bahan penolong yang terlibat dalam proses itu juga harus dikritisi. Karena, terkadang ada juga ragi yang dibuat dari hasil samping industri beer.
Selongsong sosis yang dapat langsung dimakan terbuat dari kolagen kulit hewan. Sedangkan selongsong yang tidak dapat dimakan berbahan baku selulosa. Status kehalalan sosis yang dijadikan sebagai pelengkap pizza ditentukan dari halal atau tidaknya daging hewan yang digunakan, sesuai syariat atau tidakkah proses penyembelihannya, kehalalan bahan campurannya, serta selongsong yang digunakan.
Hampir di setiap bahan yang digunakan dalam pembuatan pizza memiliki peluang dimasuki bahan-bahan yang diharamkan. Kondisi ini memang tidak diharapkan, tetapi hendaknya membuat konsumen muslim ekstrawaspada.
Dalam konteks pembuatan pizza, mengonsumsi produk yang memiliki sertifikasi halal adalah langkah yang bijaksana bagi konsumen yang memperhatikan aspek kehalalan makanan. Hal ini membantu memastikan bahwa seluruh bahan yang digunakan dalam pembuatan pizza, termasuk bahan-bahan kritis seperti daging, keju, saus, dan lainnya, telah melewati proses produksi yang sesuai dengan standar kehalalan yang diakui oleh otoritas Islam.
KOMENTAR ANDA