Ilustrasi seorang muslim berdoa/Freepik
Ilustrasi seorang muslim berdoa/Freepik
KOMENTAR

SEBETULNYA, kita yang paling mengetahui tentang seluk beluk diri kita sendiri. Orang-orang hanya dapat menilai dari apa yang terlihat di mata mereka, tetapi segala yang tersembunyi lahir batin sesungguhnya diri kitalah yang paling mengetahuinya.

Sehingga dalam istilah Al-Qur’an disebutkan, surat Al-Qiyamah ayat 14, yang artinya, “Bahkan, manusia menjadi saksi atas dirinya sendiri.”

Syaikh Adham Syarqawi dalam bukunya Pesan Cinta Dari Langit (2022: 5) menerangkan:

Pujian orang-orang suka memuji tidak akan menguntungkan Anda jika mereka memuji Anda untuk hal-hal yang tidak ada dalam diri Anda! Cacian orang yang suka mencaci tidak akan merugikan Anda jika mereka mencaci Anda dengan hal-hal yang tidak ada pada diri Anda.

Betapa pun salehnya seseorang, pasti ada pembencinya. Bahkan para nabi, tidak semua orang mencintai mereka. Tidak peduli seberapa bejatnya seseorang, dia pasti memiliki kekasih. Bahkan Fir'aun dan Namrud ada orang yang mencintai mereka.

Sepenting itulah bagi kita bersaksi atas diri sendiri, sehingga tidak perlu mabuk dengan pujian ketika kita mampu mengukur kapasitas diri sendiri. Tidak akan melambung perasaan kita tatkala pujian itu adalah sesuatu yang justru tidak kita saksikan ada pada diri sendiri.

Demikianlah pula ketika menerima serangan cacian dan makian, kita tidak akan terpuruk disebabkan mampu menyaksikan siapa sebenarnya diri sendiri. Apa yang dihinakan itu memang bukan bagian dari kita, sehingga tidak perlu repot-repot memikirkan kicauan mulut orang.

Inilah yang diharapkan dari manusia sejati, yakni yang mampu menjadi saksi atas diri sendiri.

Kehidupan adalah sebuah perjalanan di mana kita bukan hanya sebagai pelaku, tetapi juga sosok yang mengamati dan mengoreksi diri kita sendiri. Kita menjadi saksi atas diri sendiri dalam segala hal yang kita lakukan dan bagaimana kita dipersepsikan oleh lingkungan di sekitar.

Armawati Arbi dalam bukunya Komunikasi Intrapribadi (2019: 136) menerangkan:

Nafsu muthmainnah mengikat akal, kalbu, dan roh agar kalbu konsisten, tahu kebenaran tapi suka mengelak dengan mengemukakan dengan alasan-alasan. Jadi, hati nurani itu tetap jujur dan konsisten meskipun manusia menutupi kesalahannya. Basyiroh atau hati nurani bukan hanya diperlukan untuk introspeksi diri tetapi juga secara jujur memahami mengakui kebenaran agama.”

Tidak mudah juga menjadi saksi atas diri sendiri, apalagi kalau kita terjebak jeratan hawa nafsu. Lihatlah, betapa kita masih sering menipu diri sendiri disebabkan pengaruh jebakan nafsu. Kita masih senang disanjung puja, padahal kita tahu pujian itu tidak ada pada diri sendiri. Tapi mengapa kita malah mabuk dengannya?

Bagaimana bisa kita terpukul hingga terpuruk disebabkan cacian atau makian pihak-pihak pembenci? Padahal kita bisa menjadi saksi atas diri sendiri, yang sebenarnya tidak seburuk yang dimaki mereka.

Dari itu, marilah kita pahami tiga elemen yang mempunyai pengaruh besar berikut ini:

Nafsu, yang tidak terkendali malah menutup kemampuan kita untuk menilai secara jujur kualitas diri sendiri. Nafsu itu bisa membutakan, sehingga seseorang tak mampu berpikir rasional bahkan tega mengingkari kebenaran. Ketika nafsu mengambil kendali, akal dan nurani bisa tertutup oleh keinginan duniawi dan tidak mempertimbangkan akibatnya secara mendalam.

Akal, seharusnya menjadi penuntun bagi manusia dalam mengambil keputusan yang bijaksana. Sayangnya, akal juga dapat terpengaruh oleh nafsu, sehingga menyebabkan manusia mengelak dari kebenaran. Apabila akal tunduk kepada nafsu, maka sikap dan tindakannya menjadi tidak rasional.

Hati nurani, suara batin terdalam inilah diharapkan bisa menjaga konsistensi dan kejujuran dalam sikap dan tindakan. Sehingga manusia tidak menutupi kesalahannya dan tidak meremehkan potensi dirinya disebabkan serangan pihak luar. Nurani pun membutuhkan kebenaran agama agar mampu mengendalikan nafsu dan mengarahkan akal pikiran.

Dengan demikian, melalui perjuangan antara nafsu, akal, dan nurani, manusia menemukan dirinya sebagai saksi yang jujur atas dirinya sendiri. Dan jangan lupa, kelak di mahkamah akhirat, manusia benar-benar akan menjadi saksi atas dirinya sendiri, bahkan tidak mampu berdusta atas dosa-dosanya.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur