AISYAH berkata, “Tanpa kuketahui Zainab telah masuk ke dalam rumahku tanpa izin, dalam keadaan marah”. Kemudian Zainab berkata, “Wahai Rasulullah, apakah cukup bagimu jika putri Abu Bakar (Aisyah) itu datang kepadamu dengan kedua lengannya (tanda cintanya) kepadamu?”
Kemudian Zainab menoleh kepadaku, namun aku berpaling dari padanya. Sehingga Rasulullah bersabda, “Ambillah, dan perolehlah hakmu”. Maka aku pun datang kepada Zainab, aku lihat ludahnya telah kering, tidak berkata sepatah pun kepadaku. Dan aku lihat Nabi, mukanya berseri-seri.
Zainab telah melanggar banyak hak Aisyah, masuk rumah tanpa izin, meluapkan amarah, dan mengeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaan. Atas tindakan yang tidak mengenakkan itu, Rasulullah telah memberikan kesempatan bagi Aisyah memulihkan haknya.
Alih-alih melakukan aksi pembalasan, Aisyah yang dalam sejumlah riwayat diceritakan, beberapa luapan marahnya justru mampu menunjukkan kesabaran. Dia tidak mengeluarkankata sepatah pun membalas mulut Zainab.
Kesabaran Aisyah, tatkala mendapat kesempatan membalas terbuka lebar, itulah yang membuat wajah Rasulullah berseri-seri. Suami mana yang tidak terharu melihat kesabaran istrinya. Tampak jelas betapa Aisyah mampu mengendalikan dirinya dan sebagai istri yang pernah marah, dia paham sekali betapa tidak mudah meredam ledakan cemburu, sebagaimana yang dialami oleh Zainab.
Ternyata orang yang pernah marah memahami betapa butuh waktu untuk meredakannya. Orang yang pernah marah mengetahui api tidak bisa dilawan dengan api. Orang yang pernah marah menyadari betapa dirinya belajar sabar. Inilah Aisyah, yang mampu belajar dari amarahnya sendiri.
Imam al-Ghazali dalam buku Ihya’ Ulumuddin Jilid 7 (2020: 35) menerangkan, jika seseorang membiasakan diri secara terus-menerus untuk mengendalikan kemarahan, maka itu menjadi kebiasaan dan karenanya kemarahan tidak akan muncul ke permukaan. Apabila kemarahan timbul, tidak sulit baginya untuk mengendalikan. Itu merupakan tanda kesempurnaan akal dan hati.
Rasulullah Saw kemudian bersabda, “Sesungguhnya ilmu diperoleh dengan usaha (belajar, ta’allum), dan sabar terhadap rasa marah diperoleh dengan belajar mengendalikan marah (tahallum). Barangsiapa berusaha keras mencari kebajikan, pasti Allah akan memberikannya. Dan barangsiapa berusaha keras menjauhkan dirinya dari kejahatan, niscaya Allah akan melindunginya”.
Hadis ini mengisyaratkan bahwa untuk memiliki tabiat tak mudah marah, kita harus lebih dulu membiasakan diri untuk menahan marah (tahallum) dengan sungguh-sunggu sebagaimana untuk memperoleh ilmu harus belajar dengan sungguh-sungguh.
Sebagai seorang istri, tentu saja Aisyah memiliki hak-haknya yang harus dihormati. Namun, ketika kesempatan untuk membalas terbuka lebar, Aisyah justru memilih untuk menunjukkan kesabaran dan kedewasaan. Dia tidak membalas amarah Zainab dengan kata-kata yang sama atau tindakan yang serupa. Sebaliknya, dia memilih untuk diam dan tidak mengeluarkan sepatah pun kata.
Diamnya Aisyah bukan pertanda kelemahan, tetapi menunjukkan jiwa yang matang. Diamnya Aisyah berhasil memberikan kesan yang mendalam di sanubari Zainab, bahwasanya kita tidak boleh kalah oleh amarah. Diamnya Aisyah lebih bermanfaat dari pada jutaan kata, karena dalam diamnya Aisyah memberikan pengajaran tentang pengendalian diri.
Kesabaran dan ketenangan hati Aisyah dalam menghadapi situasi ini tidak hanya memperlihatkan kekuatan karakternya, tetapi juga menunjukkan kecintaannya kepada Nabi Muhammad dan kepatuhannya pada ajaran Islam.
Dia memilih untuk mengendalikan emosinya dan menunjukkan sikap yang lebih mulia, yang jauh lebih berharga di mata Rasulullah dari pada sebuah pembalasan. Inilah buah termanis dari tahallum.
KOMENTAR ANDA