SEGALA macam musibah yang menimpa kita, tidak akan terjadi kecuali atas izin Allah semata. Apabila kita mampu mengimani takdir buruk itu, niscaya Allah akan memberikan cahaya petunjuk.
Seperti yang tertulis dalam Surat At-Tagabun ayat 11, yang artinya: “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah.”
Allah memberikan izin kepada musibah untuk menimpa kita, dan tidak ada yang lebih membahagiakan hati terkecuali menerimanya dalam bingkai iman pada qadha dan qadar (rukun iman yang ke 6).
Al-Harits Al-Muhasibi dalam buku Risalah al-Mustarsyidin (2016: 68) menguraikan: Cara merasakan nikmatnya iman pada takdir, maksudnya adalah mengimani takdir Allah Swt sehingga manusia tahu dan yakin bahwa segala sesuatu yang telah menimpa seseorang memang tidak akan meleset dari orang tersebut, dan segala sesuatu yang telah meleset dari diri kita memang tidak akan menimpa diri kita sendiri.
Imam Ahmad meriwayatkan dari seorang tabiin bernama Al-Walid ibn Ubadah. Dia bercerita: Aku menemui ayahku, Ubadah ibn Shamit, yang sedang sakit. Membayangkan ayahku akan meninggal, aku berkata kepadanya, “Ayah, berpesanlah kepadaku dengan sungguh- sungguh”.
“Bantulah aku untuk duduk,” ujarnya.
Kemudian ayahku berkata, “Nak, kamu tidak bisa merasakan nikmatnya iman tidak bisa sampai pada hakikat pengetahuan tentang Allah Swt sebelum kamu meyakini takdir baik dan takdir buruk?.
“Ayah, bagaimanakah caranya agar aku mengetahui mana takdir yang baik dan mana yang buruk?” tanyaku.
Dia menjawab, “Kamu harus mengetahui bahwa segala sesuatu yang telah menimpamu memang tidak akan meleset darimu dan segala sesuatu yang telah meleset darimu memang tidak akan menimpamu”.
Pertama-tama, terlebih dulu kita menerima takdir buruk itu dengan tidak meratapi atau membenci. Semua musibah datang atas izin Allah, tidak perlu menghadapinya dengan kemarahan atau kesedihan berlebihan. Itulah pengaplikasian rukun iman kepada qada dan qadar.
Tidak ada yang benar-benar kejadian buruk, sebab yang telah melalui izin Allah adalah baik semua. Ini tentang seorang pria pemilik otak genius yang bosan terus-terusan membuat bosnya kaya raya. Ia lalu memilih resign dan membangun kerajaan bisnis sendiri.
Namun usahanya gagal, ia bangkrut dan lenyaplah segala harta benda. Kemudian ia memilih berdiam diri di masjid dan mendekatkan diri kepada Allah hingga akhirnya tidak berkeluh kesah meski bangkrut. Dia menerima kejadian itu sebagai takdir dan beriman kepada-Nya meskipun kejadian tersebut sangat menggoreskan hati.
Datang seorang Jemaah masjid kepadanya dan berkata, engkau dibuat bangkrut oleh Tuhan mu karena dipandang bukan itu rezekimu. Allah tengah menyiapkan rezeki yang lebih berkah.
Waktu terus berlalu dan manusia memilih jalan juangnya masing-masing. Pria itu mendapatkan keuntungan bisnis sepuluh kali lipat melebihi kebangkrutannya di masa lalu. Kini dia bisa tersenyum dan meyakini, musibah itu memang atas izin Allah dan Tuhan berkehendak rezekinya jauh lebih besar dari yang dulu musibah kebangkrutan.
Keluh kesah itu perbuatan setan. Kalau ada musibah hindari untuk menceritakannya kemana-mana. Kembalilah hanya kepada Allah. Pahami bingkai iman sepenuh keyakinan dan lenyap sudah kegundahan berganti ketenangan.
Apapun yang kita pandang musibah, maka segeralah menerimanya dengan iman. Kita yakin Allah akan memberikan kemudahan sesudah kesulitan, keringanan sesudah kesusahan. Kelak jika iman kita terus bertambah, bahkan musibah itu yang mampu membuat kita bersyukur.
Musibah menguatkan menta dan membuat kita mampu melewati badai dengan mental mukmin. Saat mampu menerima musibah secara lapang dada, itu pertanda Anda pribadi yang hebat.
Rasa syukur itu hanya bisa muncul ketika kita melihat setiap musibah semata-mata terjadi berkat izin Allah. Dan jika itu terjadi atas izin Tuhan, percayalah di baliknya terdapat banyak hikmah kebenaran dan keadilan.
KOMENTAR ANDA