MANUSIA purba diprediksi sudah sejak lama menggunakan alas kaki, yang di antara bahannya adalah kulit binatang. Ketika manusia modern juga memakai sepatu berbahan kulit hewan, itu tentu dengan berbagai keunggulan dan kebanggaan tersendiri.
Sebetulnya penggunaan sepatu berbahan kulit hewan mendapat protes keras dari pecinta satwa. Namun, bagi setiap konsumen muslim ada sesuatu yang lebih fundamental dan berkaitan dengan akidahnya.
Ahmad Sarwat dalam Ensiklopedia Fikih Indonesia 3: Taharah (2019: 396) menerangkan:
Dalam pandangan mazhab Asy-Syafi’iyah, meskipun bangkai termasuk yang haram dimakan, namun kulitnya tetap bisa disucikan lewat penyamakan.
Maka sepatu yang terbuat dari kulit bangkai hewan yang haram dimakan, seperti kulit ular, kulit buaya, kulit macan, asalkan sudah disamak, maka statusnya menjadi suci.
Yang dikecualikan adalah kulit anjing dan babi. Alasannya, anjing dan babi termasuk najis 'ain, yang sejak masih hidup sudah termasuk najis dan levelnya najis mughallazhah.
Bahkan ketika hewan itu telah menjadi bangkai, kulitnya yang sudah disamak halal untuk dipakai, termasuk sebagai bahan sepatu. Artinya agama Islam tidak pernah mempersulit, melainkan mempermudah pemeluk-pemeluknya. Hanya saja sepatu berbahan kulit hewan yang najis, meskipun telah melalui penyamakan atau proses pengolahan modern, tetap saja yang berbahan najis hukumnya haram dipakai.
Sepatu kulit bisa memberikan kenyamanan hingga sensasi tersendiri, tetapi konsumen muslim perlu waspada dengan bahan-bahannya. Produsen juga harus jujur tentang jenis kulit binatang apa yang digunakan.
Moh. Taufik dalam bukunya Serba-Serbi Mindset Halal (2020: 181) menerangkan:
Sepatu merupakan barang gunaan yang banyak digunakan untuk berbagai aktivitas, seperti bekerja, pernikahan, olahraga, dan lain sebagainya. Ada banyak jenis sepatu yang ada di pasaran, salah satunya adalah sepatu kulit. Kulit yang digunakan dapat berasal dari kulit sintetis atau kulit alami yang berasal dari kulit binatang, seperti sapi, kambing, babi, ular, dan lain sebagainya.
Pada proses pembuatan sepatu kulit hewan dilakukan proses penyamakan. Proses penyamakan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan keawetan kulit dan juga menghilangkan lendir dan bau khas dari kulit tersebut dengan menggunakan zat tertentu. Saat ini sudah banyak sepatu yang sudah berlabel halal.
Mungkin terdengar ganjil, kok ada sepatu yang bermerek halal. Tetapi untuk sepatu berbahan kulit, maka sertifikasi halal itulah yang menyelamatkan konsumen. Sebab tidak sedikit pula sepatu kulit yang berbahan kulit babi dan anjing.
Pihak produsen sepatu kulit hendaknya memperhatikan kriteria sertifikasi halal ini, sebab menguntungkan bagi bisnisnya. Karena konsumen muslim mendapatkan kenyamanan sesuai dengan akidah mereka.
Tapi kok sepatu perlu sertifikasi halal segala ya?
Pada laman halalmui.org diterangkan bahwa:
Merujuk pada ketentuan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH), sepatu termasuk barang gunaan yang wajib bersertifikat halal. Terkait hal ini, barang gunaan dikelompokkan ke dalam dua bagian. Pertama, barang gunaan yang pemakaiannya berkontak langsung dengan produk yang dikonsumsi.
Produk ini harus disertifikasi halal karena dapat mengontaminasi makanan halal. Misalnya, penggorengan anti lengket yang menggunakan bahan turunan lemak hewani untuk anti lengketnya.
Kelompok wajib halal kedua adalah untuk barang gunaan yang berbahan dasar kulit hewan seperti sepatu, tas, jaket dan sebagainya. Barang gunaan dari kulit hewan diperbolehkan, asal bukan dari kulit babi, dan telah diproses dengan sangat bersih. Sedangkan barang gunaan dari kulit babi haram digunakan meskipun sudah dilakukan penyamakan dan proses lain, tetap saja kulit babi haram digunakan.
Di sebuah toko terpajang sebuah sepatu kulit yang bagus. Uniknya sepatu itu dibungkus dalam plastik tertutup rapat dan letaknya terpisah dari produk yang lain. Penjualnya memasang tulisan jelas bahwasanya sepatu tersebut berbahan kulit babi. Mengapa dipisahkan bahkan dibungkus plastik secara rapi? Ya, supaya bahan najis itu tidak terkontaminasi dengan barang-barang yang lain.
Betapa mulianya pedagang sepatu itu, yang menunjukkan komitmen besar dalam melindungi konsumen muslim. Jangankan konsumen tertipu membeli sepatu najis, bahkan dia membukusnya sangat rapat agar tidak mengenai yang lain.
Jika tidak mampu setulus pedagang sepatu itu, setidaknya pedagang-pedagang yang lain mencantumkan sepatu kulitnya berbahan apa. Dengan demikian pembeli tidak terjerumus untuk sesuatu yang diharamkan syariat Islam.
Selain itu konsumen hendaknya pro aktif menanyakan bahan dari sepatu kulitnya. Ketika melihat sepatu kulit tidak buru-buru menyentuh sebelum memastikan bukan berbahan najis. Di atas itu semua, hendaknya ada upaya yang lebih maksimal supaya kasus sepatu kulit berbahan najis tidak merugikan umat Islam.
KOMENTAR ANDA