Ilustrasi sedang bersedih/Paxels
Ilustrasi sedang bersedih/Paxels
KOMENTAR

TIDUR adalah istirahat, mengembalikan performa tubuh yang kelelahan. Betapa meruginya bila tidur yang semakin langka bagi manusia modern harus direnggut oleh kesedihan mendalam. Otak yang bagaikan superkomputer sangat canggih, terisi oleh memori buruk yang begitu kuat.

Dalam perjalanan hidup yang penuh warna, kita sering dihadapkan pada beragam emosi, salah satunya adalah kesedihan. Emosi ini menjadi bagian alami dari pengalaman manusia, terkadang datang tiba-tiba, terkadang juga menyelinap perlahan-lahan. Namun, seberapa lama kita terjebak dalam kesedihan mendalam itu?

Kesedihan bisa berlangsung seratus tahun bahkan seratus abad apabila manusia tidak pandai mengelolanya. M. Darwis Hude dalam buku Emosi: Penjelalajahan Religio Psikologis (2006: 295) menulis, sedangkan emosi sedih umumnya disampaikan dalam bentuk imbauan agar manusia tidak mudah bersedih.

Ekspresi emosi sedih dalam beberapa ayat dilukiskan dengan tangis atau linangan air mata (taftdhu min al-dam', ibyadbdhat `aynah). Al-Qur’an selalu menggandengkan emosi cemas/khawatir (anxiety, al-khauf) dengan emosi sedih (sadness, al-huzn) dan mengulanginya hingga tiga belas kali.

Dalam psikologi, dua term ini dimaknai hampir sama kecuali time-case-nya berbeda. Kecemasan terjadi menjelang suatu peristiwa yang tak diinginkan, dan kesedihan terjadi sesudahnya.

Bagi sebagian pihak, kesedihan seringkali dianggap sebagai sesuatu yang harus dihindari atau disembunyikan. Namun, dalam ajaran Islam, umumnya disarankan agar manusia tidak terlalu mudah terjerumus ke jurang kesedihan.

Islam menghargai ekpresi kesedihan yang boleh jadi terlihat nyata. Akan tetapi, kita perlu piawai dalam mengelolanya. Kesedihan memiliki peran penting dalam kehidupan manusia, bukan hanya sebagai luapan emosi, tetapi juga sebagai bagian dari proses pertumbuhan jiwa. Ketika mengalami kesedihan, kita seharusnya tidak menghindari atau menekannya, tetapi perlu dipahami dan ditangani dengan bijaksana.

Nabi Muhammad pernah sedih bahkan berlangsung setahun lamanya, yang disebut amul huzni (tahun duka cita). Namun ini bukan bermakna beliau terpuruk dalam kehancuran diri. Sedihnya beliau karena kehilangan pembela dalam perjuangan agama; Khadijah dan Abu Thalib. Inilah kesedihan dengan alasan yang bermartabat.

Kesedihan Rasulullah sungguh hebat, karena disambungkannya dengan Allah sehingga dihadiahkan kepadanya perjalanan Isra Mikraj yang berbuah manis ibadah shalat. Itu pula mengapa saat bersedih diminta untuk segera kembali kepada salat, hingga tersambung dengan Allah.

Sedih itu wajar, yang tidak wajar apabila kita tidak menemukan Tuhan sebagai tempat kembali. Kita tidak bisa mengukur seberapa lama akan tidur dalam kesedihan mendalam, karena setiap orang memiliki cara dan waktu penyembuhan yang berbeda-beda. Yang terpenting adalah bagaimana kita tidak terjebak dalam kesedihan itu sendiri. Kita perlu mencari jalan keluar dan mempercayakan diri pada kekuatan yang lebih besar, yakni cinta kasih Ilahi.

Kesedihan bukanlah akhir dari segalanya. Sebagaimana malam akan berganti dengan pagi, begitu pula kesedihan akan berganti dengan kebahagiaan. Sebab yang terpenting adalah kita terus berusaha, terus berdoa, dan percaya bahwa setiap ujian pasti akan diiringi dengan kemudahan.

Dengan demikian, bukanlah masalah berapa lama kita tidur dalam kesedihan mendalam, tetapi bagaimana kita bangkit kembali dan melanjutkan perjalanan hidup dengan penuh keyakinan dan harapan.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur