PERINTAH berpuasa sebagaimana tercantum pada surat Al-Baqarah ayat 183, jelas sekali mengandung suatu keunikan, bahwasanya puasa itu bukan hanya diwajibkan bagi umat Islam, tetapi juga telah dijalankan oleh umat-umat terdahulu. Apa maksudnya?
Surah al-Baqarah ayat 183, yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Abdul Jawwad ash-Shawi dalam buku Terapi Puasa (2006: 19) mengungkapkan:
Fakhr ar-Razi mengatakan dalam tafsirnya, “Ibadah ini telah menjadi kewajiban para nabi dan umat mulai dari Adam sampai masa kalian. Satu kali pun Allah belum pernah melewatkan kewajiban puasa dari sebuah umat. Jadi, Allah tidak hanya mewajibkan puasa kepada kalian saja.”
Rasyid Ridha menambahkan dalam tafsirnya, Al-Manar, “Puasa telah diwajibkan bagi semua pemeluk agama pada masa dahulu. Bahkan puasa menjadi salah satu tiang setiap agama karena termasuk ibadah yang terberat dan cara purifikasi (penyucian) diri yang paling agung.”
Dalam Zad al-Masir, Ibnu al-Jauzi melansir tiga komentar para sabahat dalam menginterpretasikan ayat, “orang-orang sebelum kamu,” yaitu sebagai ahlul kitab, orang Nasrani saja, atau semua penganut agama-agama (millah).
Puasa itu punya sejarah sangat panjang selaras dengan peradaban umat manusia. Selain nabi-nabi terdahulu yang juga menunaikan puasa, agama-agama lain juga mengenal ibadah yang satu ini. Kalau memang umat-umat terdahulu pernah diwajibkan berpuasa, lalu apa yang membedakannya dengan umat Islam?
Abdul Jawwad ash-Shawi (2006: 19-20) menerangkan:
Hakikat puasa yang diwajibkan kepada semua umat sebenarnya sama, yaitu menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh dalam jangka waktu tertentu. Batas minimalnya adalah dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Rasyid Ridha mengemukakan dalam al-Manar, bahwa puasa umat-umat terdahulu adalah sehari semalam dan selama itu mereka hanya diperbolehkan makan sekali saja.
Dalam hal ini Nabi saw. juga telah memberikan penjelasan, “Perbedaan antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab adalah adanya makan sahur (dalam puasa kita).” Inilah yang membedakan antara puasa Ahlul Kitab dengan puasa kaum muslimin.
Selanjutnya, firman Allah Swt. (agar kamu bertakwa) memiliki tiga makna yang signifikan:
Makna pertama berkisar pada seputar pencapaian sifat takwa yang melindungi manusia dari keterjerumusan ke dalam hal-hal yang dibenci Allah Swt. Sedangkan makna kedua adalah ketekunan menjalankan puasa demi memperoleh rida Allah Swt. bisa menjadi self-protection dari segala maksiat yang membuat murka Allah Swt. Makna ketiga adalah, bahwa puasa melahirkan upaya preventif dari berbagai panyakit yang bisa menimpa jiwa maupun raganya.
Tentunya dalam berpuasa kaum muslimin tidak sekadar ikut-ikutan, sebab ujung ayat surat al-Bawarah ayat 183 menyebutkan, “… agar kamu bertakwa.” Dalam praktik berpuasa memang ada perbedaan, tetapi dalam pelaksanaannya itu relatif sama saja. Sehingga demi meraih perbedaan yang lebih mulia, hendaknya kita bukan sekadar lapar dahaga tetapi berhasil meraih ketakwaan dala berpuasa.
Syaikh Muhammad Abdul Athi Buhairi dalam Tafsir Ayat-Ayat Ya Ayyuhal-Ladzina Amanu (2005: 70) mengingatkan:
Puasa merupakan guru yang mengajarkan rahmat, menyebarkan kasih sayang di antara manusia, dan mengembalikan mereka kepada pengorbanan dan pencurahan. Atas dasar itulah, Yusuf as. senantiasa memperbanyak puasa, padahal ia sebenarnya mampu menguasai seluruh isi bumi.
Ketika ditanya tentang sebab memperbanyak puasa, ia menjawab, “Saya khawatir menjadi kenyang lalu saya akan melupakan orang yang lapar.” Puasa merupakan sarana pencegahan yang disyariatkan, mendidik lapar, khusyuk dan tunduk kepada Allah.
Amatlah tepat orang yang bersyair,
Puasamu merupakan kunci dari segala keutamaan
Yang membekalimu dengan takwa dan menghiasimu dengan kesucian
Maka katakan secara tulus: Aku beriman kepada Allah,
lalu konsistenlah Dan perbaikilah amal, baik secara sembunyi maupun nyata.
KOMENTAR ANDA