Ilustrasi bendera Palestina/Ist.
Ilustrasi bendera Palestina/Ist.
KOMENTAR

PRESIDEN Palestina Mahmoud Abbas telah menunjuk penasihat ekonomi lamanya Mohammed Mustafa untuk menjadi perdana menteri berikutnya dalam menghadapi tekanan AS untuk mereformasi Otoritas Palestina sebagai bagian dari visi Washington pascaperang Gaza.

Mustafa adalah ekonom lulusan AS dan independen secara politik, kini menghadapi tugas membentuk pemerintahan baru PA (Palestinian Authority) yang memiliki kekuasaan terbatas di beberapa bagian Tepi Barat yang diduduki Israel.

Presiden Abbas pada Kamis (14/3) telah meminta Mustafa menyusun rencana untuk menyatukan kembali pemerintahan di Tepi Barat dan Gaza yang diduduki, memimpin reformasi di pemerintahan, layanan keamanan, ekonomi serta memerangi korupsi.

Mustafa menggantikan mantan Perdana Menteri Mohammed Shtayyeh yang, bersama dengan pemerintahannya, mengundurkan diri pada bulan Februari dengan alasan perlunya perubahan di tengah perang Israel di Gaza dan meningkatnya kekerasan di Tepi Barat yang diduduki.

PA yang diakui secara internasional, yang didominasi oleh Fatah, menjalankan pemerintahan sendiri secara terbatas di Tepi Barat yang diduduki, namun kehilangan kendali atas Gaza ke tangan Hamas pada tahun 2007.

Dipilihnya Mustafa bertujuan untuk menyatukan kembali pemerintahan di tanah Palestina setelah menghadapi hambatan besar, termasuk tentangan keras dari PM Israel Benjamin Netanyahu, dan perang dahsyat yang masih terus berlangsung tanpa terlihat akhirnya.

Mustafa, 69 tahun, pernah menjabat posisi senior di Bank Dunia dan sebelumnya menjabat sebagai wakil perdana menteri dan menteri perekonomian.

Pada tahun 2015, Abbas menunjuk Mustafa sebagai ketua Dana Investasi Palestina (PIF), yang memiliki aset dan mendanai proyek senilai hampir 1 miliar USD di seluruh wilayah Palestina.

Dia menjabat sebagai wakil perdana menteri yang bertanggung jawab atas urusan ekonomi dari tahun 2013 hingga 2014. Kala itu dia memimpin sebuah komite yang bertugas membangun kembali Gaza setelah perang tujuh minggu yang menewaskan lebih dari 2.100 warga Palestina.

Berbicara di Davos pada bulan Januari, Mustafa mengatakan bahwa bencana dan dampak kemanusiaan dari perang Israel yang berkelanjutan di Gaza saat ini jauh lebih besar dibandingkan satu dekade lalu.

Setidaknya 31.341 warga Palestina telah meninggal dunia di Gaza sejak 7 Oktober, sebagian besar dari 2,3 juta penduduknya telah mengungsi dan sangat membutuhkan bantuan, dan sebagian besar daerah kantong tersebut kini menjadi puing-puing.

Para pejabat pemerintahan Biden telah mendesak Abbas untuk membawa tokoh-tokoh baru, termasuk para teknokrat dan pakar ekonomi, ke dalam pemerintahan Palestina yang telah diubah untuk membantu memerintah Gaza pascaperang.

“Sampai saat ini, kami masih percaya bahwa status sebagai negara bagi Palestina adalah jalan ke depan, sehingga kami berharap kali ini kita bisa mewujudkannya agar seluruh masyarakat di kawasan bisa hidup aman dan damai,” ungkap Mustafa, seperti dilansir Al Jazeera.

Sementara itu, Hamas mengecam penunjukan PM baru yang disebut secara 'sepihak'

Hamas mengatakan keputusan itu diambil tanpa berkonsultasi meskipun baru-baru ini mereka menghadiri pertemuan di Moskow yang juga dihadiri oleh Fatah mengakhiri perpecahan yang telah lama melemahkan aspirasi politik Palestina.

“Kami menyatakan penolakan kami untuk melanjutkan pendekatan yang telah dan terus merugikan rakyat dan perjuangan nasional kami,” kata Hamas dalam sebuah pernyataan.

“Mengambil keputusan individu dan melakukan langkah-langkah yang dangkal dan kosong seperti membentuk pemerintahan baru tanpa konsensus nasional hanya akan memperkuat kebijakan unilateralisme dan memperdalam perpecahan,” demikian dikutip dari Reuters.




Rencana Presiden Prabowo Bangun Reaktor Nuklir: Energi Bersih yang Masih Diragukan Keberlanjutan Penggunaannya

Sebelumnya

Indonesia Raih “Best Tourism Villages 2024" UN Tourism untuk Desa Wisata dengan Sertifikat Berkelanjutan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News