LUAR biasa bangganya sang ibu mertua, Ramadan belum habis berlalu namundi ruang tamu rumahnya bertakhta sebuah parsel nan megah. Senyum manisnya terkembang mekar membanggakan kepada setiap orang yang ditemui. Sekian tahun memiliki menantu, baru kali ini ada parsel di rumahnya. Sebab, kini sang menantu sudah punya posisi lumayan terhormat.
Sang menantu sendiri biasa-biasa saja. Meskipun telah mampu menggembirakan hati mertua, dirinya tidak mau gegabah. Justru ia meragukan halal atau haram parsel tersebut, buat apa bangga kalau sesuatu itu belum jelas hukumnya.
Entah bagaimana ceritanya, parsel atau bingkisan lebaran demikian populer di kalangan muslimin Nusantara. Tidak ditemukan fakta yang kuat apakah parsel pernah menjadi tradisi di masa Rasulullah atau pada generasi sahabat, sehingga wajar apabila keraguan muncul pada pihak-pihak yang memberi atau menerimanya.
Kalau babi atau anjing misalnya, sudah sangat terang-benderang hukumnya haram. Contoh lainnya tepung, memang tidak terang disebutkan halal atau haram, tetapi dengan penelitian ilmiah dapat diketahui haramnya jika menggunakan bahan-bahan yang dilarang agama.
Nah, kondisi parsel menjadi rumit, sebab isinya beragam-macam, misalnya biskuit, softdrink, aneka cokelat, kue-kue, buah-buahan, kain, pecah belah, makanan kaleng dan sebagainya. Jadi, tidak bisa digeneralisir hukum parcel itu halal atau haram.
Di sini kita tidak boleh terlena dengan ketibaan anugerah parsel nan megah, sebab perkara halal atau haram mestilah diperhatikan dengan seksama. Bayangkan jika yang dikonsumsi di hari raya Idul Fitri justru sesuatu yang diharamkan agama.
Nauzubillahi min zalik!
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin pada kitab Syarah Riyadush Shalihin Jilid II (2019: 614) menyebutkan sebuah hadis Rasulullah:
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu juga jelas dan di antara keduanya syubhat (samar-samar) yang tidak diketahuinya oleh kebanyakan orang.” Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membagi berbagai perkara ke dalam tiga bagian: halal yang jelas, haram yang jelas, dan samar-samar.
Agama dengan terang-terangan menegaskan mana yang halal dan mana yang haram, kita tinggal menaatinya. Akan tetapi, terkadang kaum muslimin akan dihadapkan dengan hal-hal yang syubhat atau samar-samar, yang hukum halal atau haramnya belum pasti.
Musthafa Dieb Al-Bugha & Syeikh Muhyiddin Mistu dalam bukunya Al-Wafi Syarah Hadits Arba'in Imam An-Nawawi (2017: 37) menjelaskan, adapun yang syubhat artinya tidak jelas halal atau haramnya, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Adapun para ulama mengetahui hukumnya berdasarkan nash atau qiyas (analogi). Apabila ada keraguan antara halal dan haram dan tidak ada nash dan ijmak, maka seorang mujtahid berijtihad dalam masalah itu, lalu mengategorikan masalah itu kepada salah satu hukum (halal atau haram) berdasarkan dalil syar'i.
Jadi bagaimana status hukum parsel?
Sederhana saja, parsel halal ya halal dan parsel haram tentu menjadi haram. Artinya, kita memang perlu memeriksa satu per satu setiap produk yang menjadi bagian dari parsel tersebut.
Misalnya, jika makanan kaleng mengandung daging babi atau unsur lainnya, maka jelas produk itu menjadi haram. Contoh lainnya, ketika minuman kaleng tidak memiliki sertifikasi halal dan juga mengandung unsur yang dilarang agama, maka itu termasuk yang diharamkan.
Jadi, tidak bisa dibuat kesimpulan umum bahwa parsel itu haram atau halal, terkecuali kita memeriksa satu per satu isi dari bingkisan tersebut.
KOMENTAR ANDA