KESETARAAN gender selalu menjadi isu penting yang perlu terus diangkat ke permukaan. Sebab, meski gaungnya kian kencang namun tantangan untuk membuat keadilan gender, khususnya di Indonesia yang masih menerapkan budaya patriarki, masih sangat besar.
Adalah Masnu’ah, seorang perempuan tangguh dan sangat inspiratif. Lahir dari keluarga nelayan dan tumbuh besar di wilayah pesisir, membuat ia hapal betul bagaimana ketimpangan gender terjadi. Dari situlah Nuk, sapaannya, berinisiatif untuk menggerakkan perempuan nelayan untuk menghapus praktik-praktik ketidaksetaraan gender yang sangat merugikan perempuan pesisir.
“Saya melihat dan mengalami senditi ketidakadilan terhadap perempuan. Karenanya, saya bergerak mencari solusi untuk mengubah kondisi perempuan nelayan menjadi sosok yang lebih mandiri, terdidik, dan terorganisasi,” kata Nuk, dikutip dari laman Instagram @kemenpppa, Senin (8/4/2024).
Selanjutnya bersama dengan beberapa orang dan jaringan, pada 2005 Masnu’ah membentuk Komunitas Puspita Bahari di desa Morodemak, Kecamatan Demak, Jawa Tengah. Komunitas Puspita Bahari mengajak perempuan nelayan untuk mengolah produk perikanan dalam bentuk kerupuk, terasi, dan abon.
“Saya hanya lulusan SD sekitar tahun 1987-an. Karena posisi keluarga saat itu, jadi tidak sampai berpikir akan menyekolahkan anak sampai tinggi. Jadi, sebelum aktif di Puspita Bahari saya bekerja menjadi buruh pengolahan ikan,” ujar dia.
Roda berputar, kehidupan pun tidak selamanya berjalan mulus. Pada 2007 Puspita Bahari ditinggalkan satu per satu oleh anggotanya yang terprovokasi oleh stigma negatif masyarakat lantaran dianggap melawan kodrat.
Namun Masnu’ah tidak gentar. Ia terus merancang penguatan ekonomi bersama organisasi lain sehingga tidak hanya fokus di gerakan perlawanan diskriminasi. Hingga pada akhirnya, dua tahun kemudian (2009), Puspita Bahari memulai produksinya. Olahan pertama adalah kerupuk ikan yang salah satunya adalah ikan sriding krispi.
Ya, Puspita Bahari mampu menyulap ikan yang semula tidak laku di pasaran menjadi makanan yang memiliki nilai tambah hingga membantu menggenjot perekonomian masyarakat. Tahun ini pula dianggap sebagai titik balik gerakan pemberdayaan ekonomi perempuan nelayan. Bahkan, aktivitas pelaku usaha mikro perempuan tersebut masih bertahan hingga sekarang.
“Cemoohan hingga cibiran sering kami terima, tapi tidak membuat kami, para nelayan perempuan, tidak semangat untuk melaut. Padahal, perempuan punya andil sebagai tulang punggung yang menambah penghasilan keluarga,” jelas dia.
Selain memproduksi ragam olahan hasil laut, Puspita Bahari juga melakukan advokasi kepada anggotanya. Tercatat salah satu yang berhasil diperjuangkan adalah memberikan pengakuan pekerjaan nelayan untuk 32 anggota (2017). Jika sebelumnya kolom pekerjaan pada KTP perempuan nelayan tertulis buruh atau ibu rumah tangga, kini berganti nama menjadi ‘nelayan perempuan’.
Kini, Puspita Bahari memiliki anggota lebih dari 100 orang yang tersebar ke berbagai desa seperti Morodemak, Purworejo, dan Margolinduk. Mereka juga mulai dipercaya menyalurkan bantuan, baik dari pihak swasta maupun BUMN.
KOMENTAR ANDA