HINGGA beberapa hari ke depan, minal ‘aidin wal faizin akan sering terucap yang insyaallah diiringi senyuman berbingkai kegembiraan.
Selepas menunaikan ibadah Ramadan maka sampailah umat Islam kepada hari-hari kemenangan Idul Fitri. Namun, akan sangat disayangkan jika kita kurang memahami makna sesuatu yang seringkali diucapkan tersebut.
M. Quraish Shihab dalam buku Lentera Hati (2007: 404) menerangkan:
“Minal 'aidin wal faizin,” demikian harapan dan doa yang kita ucapkan kepada sanak keluarga dan handai tolan pada Idul Fitri. Apakah yang dimaksud dengan ucapan ini?
Dari segi bahasa, minal ‘aidin berarti “(semoga kita) termasuk orang-orang yang kembali.” Kembali di sini adalah kembali kepada fitrah, yakni “asal kejadian”, atau “kesucian”, atau "agama yang benar”.
Setelah mengasah dan mengasuh jiwa - yaitu berpuasa- selama satu bulan, diharapkan setiap muslim dapat kembali ke asal kejadiannya dan menemukan “jati dirinya”, yaitu kembali suci sebagaimana ketika ia baru dilahirkan.
Minal ‘aidin wal faizin bukanlah sekadar ucapan selamat, melainkan setangkup doa harapan yang teramat mendalam maknanya. Ucapan ini mengajak kita untuk tidak hanya merayakan kemenangan fisik setelah melewati bulan Ramadan, tetapi juga merayakan kemenangan rohani yang membawa kita kembali kepada keadaan fitrah yang suci.
Oleh karena itu, mari kita sambut Idul Fitri dengan hati yang bersih, jiwa yang suci, dan kemurnian batin yang tulus untuk terus meningkatkan kualitas iman. Dengan harapan setiap langkah kita di hari-hari mendatang selalu dipenuhi dengan berkah dan rahmat Allah.
M. Quraish Shihab dalam buku Wawasan Al-Qur’an (1996: 322) menjelaskan:
Salah satu ucapan populer dalam konteks Idul Fitri adalah minal ‘aidin wal faizin. Kata ‘aidin, adalah bentuk pelaku Id. Kata al-faizin adalah bentuk jamak dari faiz yang berarti orang yang beruntung. Kata ini terambil dari kata fauz yang berarti keberuntungan.
Dalam Al-Quran ditemukan sebanyak 29 kali kata tersebut dengan berbagai bentuknya. Masing-masing delapan belas kali pada bentuk kata jadian fauz/al-fauz (keberuntungan), tiga kali dalam bentuk mafaz (tempat keberuntungan), dua kali dalam bentuk kata kerja faza (beruntung), empat kali dengan bentuk al-faizin dan hanya sekali dalam bentuk kata kerja tunggal yang menunjuk kepada orang pertama afuz (saya beruntung).
Yang terakhir itu diucapkan oleh orang munafik yang menyesal karena tidak ikut berperang bersama-sama orang Islam, sehingga ia tidak memperoleh pembagian harta rampasan perang.
Dapat disimpulkan bahwa kata faizin itu merujuk kepada kebahagiaan kaum muslimin yang menjadi pihak yang beruntung. Maksud minal ‘aidin wal faizin adalah kembali kepada fitrah yang suci dan mengukuhkan diri sebagai pemenang.
Akan tetapi, klaim sebagai pemenang atau pihak yang beruntung bukan mutlak hanya milik kaum muslimin saja. Bahkan kaum musyrik, kafir hingga munafik pun bisa saja menyebut diri mereka sebagai pihak yang beruntung. Lalu apa yang membedakan pemenang versi kaum muslimin yang terbingkai dalam kata faizin?
M. Quraish Shihab (1996: 323) menguraikan:
Bagi orang munafik, keberuntungan adalah keuntungan material, dan popularitas, dan keberuntungan itu hanya ingin dinikmatinya sendiri. Keberuntungan orang lain bukan merupakan keberuntungan pula baginya.
Berbeda dengan petunjuk Al-Qur’an yang tidak mengaitkan keberuntungan dengan orang tertentu, dan kalaupun dikaitkan dengan orang-orang tertentu, tidak ditujukan kepada individu perorangan, melainkan kepada bentuk kolektif (al-faizin atau al-faizun).
Yang tidak kurang pentingnya adalah makna keberuntungan. Dan ayat-ayat yang berbicara tentang al-fauz dalam berbagai bentuknya itu (kecuali surat An-Nisa ayat 73), seluruhnya bermakna pengampunan Ilahi maupun kenikmatan surgawi, sebagai ganjaran ketaatan kepada Allah Swt.
Dengan demikian, orang-orang yang faizin (pemenang) itu memandang kemenangannya sebagai keberuntungan kolektif atau bersama-sama kaum muslimin. Menang bukan dengan mengalahkan siapa pun, tapi mensyukuri keberuntungan secara bersama.
Dan puncak faizin adalah mereka yang menang setelah memperoleh ampunan Allah dan kelak memperoleh ganjaran surga. Seiring dengan ketaatan kepada Tuhan, maka pantaslah kita merayakan Idul Fitri dengan saling berucap: minal ‘aidin wal faizin.
KOMENTAR ANDA