RAMADAN telah berlalu, dan hari kemenangan telah tiba. Kita bergembira dan bersuka cita dalam silaturahmi yang penuh canda tawa. Apakah kita layak merayakan kemenangan ini?
Jika memang kita telah berusaha sekuat tenaga mengisi Ramadan dengan segala amal saleh dan ibadah yang diperintahkan Allah Swt, insya Allah kemenangan ini adalah milik kita.
Jika kita telah bersusah payah memperkuat kesabaran agar puasa kita tak hanya terasa lapar dan dahaga, maka insya Allah kita boleh bersuka cita menyambut hari raya.
Jika kita mengoptimalkan setiap detik Ramadan kita untuk menjauh dari maksiat dan dosa, insya Allah kita optimis sudah kian mendekat kepada takwa dan meraih kemenangan.
Namun jika kita mau jujur, apakah Ramadan kita sehebat itu?
Bukankah banyak hari dalam Ramadan yang dilalui dalam balutan ghibah dan kebohongan? Bukankah kita masih sering berburuk sangka pada orang lain, menganggap orang lain lebih rendah dari kita, dan menunda-nunda kebaikan?
Jika itu yang terjadi, kemenangan macam apa yang kita rayakan di hari Lebaran?
Bisa jadi, kemenangan itu hanya bermakna “sudah bisa makan enak di siang hari” dan “sudah bebas melakukan aktivitas seru di malam hari” karena Ramadan telah berlalu. Atau (naudzubillah), kemenangan itu berarti “Ramadan telah berakhir”.
Maka jika kita harus menjawab pertanyaan “apakah kita layak merayakan kemenangan?”, jujurlah pada diri sendiri. Dan niatkan diri kita untuk menjadi lebih baik sekalipun Ramadan telah berlalu.
Minal Aidin wal Faizin.
KOMENTAR ANDA