RASULULLAH bersama penduduk Madinah dikejar waktu, penggalian parit harus rampung sebelum pasukan Ahzab datang. Kendati Nabi Muhammad turut serta menggali parit, tetap saja kalangan munafik bermalas-malasan, di antara mereka diam-diam balik ke rumahnya.
Sayyid Quthub pada kitab Tafsir Fii Zhilalil Qur’an menjelaskan, ada beberapa orang munafik yang setengah-setengah dan terlambat datang bersama Rasulullah dan kaum mukminin dalam membuat parit itu. Mereka hanya ikut terlibat dengan sekadarnya dan pekerjaan yang sangat kecil. Kemudian mereka mencari-cari celah untuk pergi ke rumah-rumah mereka tanpa sepengetahuan Rasulullah dan juga tanpa izinnya.
Sementara itu, orang-orang yang beriman bila ada hajat yang harus ditunaikan, dia menyebutkan hajat itu di hadapan Rasulullah dan meminta izin untuk menunaikan hajatnya tersebut.
Maka, Rasulullah pun memberikannya izin. Bila dia selesai menunaikan hajatnya, maka dia pun segera kembali meneruskan pekerjaan menggali parit, karena ingin mendapatkan pahala dan mengharapkan kebaikan.
Penggalian benteng parit terus saja mengalami hambatan dari orang-orang munafik yang sikap mereka sungguh keterlaluan. Bahkan mereka minta izin pulang khawatir rumahnya kemasukan maling.
Pada Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, menurut Aufi, dari Ibnu Abbas, mereka yang meminta izin berasal dari Bani Haritsah. Mereka beralasan rumah-rumah terbuka, mereka khawatir rumah-rumahnya dimasuki oleh pencuri. Alasan yang sama juga disampaikan oleh orang-orang lainnya yang bukan hanya seorang. Ibnu Ishaq mengatakan, orang yang mengatakan demikian adalah Aus ibnu Qaizi.
Dia mengatakan (kepada teman-temannya), “Buatlah alasan untuk pulang ke rumah kalian, bahwa rumah-rumah kalian tidak ada penjaganya.” Yaitu, tidak ada yang menjaganya dari serangan musuh, padahal kenyataannya merekalah yang takut dengan musuh.
Walaupun menemui banyak hambatan tetapi penggalian benteng parit berhasil dikebut selama enam hari. Meskipun kaum munafik menunjukkan keculasannya, tapi banyak juga kejadian yang mengharukan. Kelaparan yang dialami Nabi Muhammad dan para penggali parit malah menghasilkan kisah heroik.
Seperti Jabir bin Abdullah yang minta izin pulang berharap ada makanan di rumahnya. Semata-mata dirinya tidak tahan menyaksikan kelaparan yang dialami Rasulullah dan kaum muslimin.
Said Hawwa dalam buku Allah Swt. dan Ar-Rasul Saw. (2020: 409-410) menceritakan:
Kemudian aku (Jabir bin Abdullah) berkata, “Wahai istriku, aku tidak tahan melihat keadaan Rasulullah, apakah kita punya sesuatu?”
Istriku menjawab, “Kita punya gandum dan anak kambing betina.”
Kusembelih anak kambing itu, sedangkan istriku memasak gandumnya. Kumasak daging kambing itu ke dalam periuk yang terbuat dari batu. Kutinggalkan daging yang di atas api dan gandum yang sudah mulai meragi itu untuk pergi kepada Rasulullah saw.
Sementara istriku berpesan, “Jangan kau buat kita malu kepada Rasulullah saw. dan sahabat-sahabatnya.”
Kudekati beliau dengan diam-diam dan kukatakan, “Wahai Rasulullah, kami di rumah sedang masak daging dan sedikit gandum, marilah engkau dan beberapa orang sahabat (kurang dari sepuluh) ke rumah.”
Beliau bertanya, “Seberapa banyak makanannya?”
Kusebutkan jumlah makanan yang tersedia. Beliau berkata, “Itu banyak. Katakan kepada istrimu agar daging dan rotinya jangan diangkat dulu sebelum aku datang.”
Kemudian beliau berseru kepada pan sahabat, “Wahai Ahlul Khandaq, Jabir telah memasak makanan untuk kita semua. Marilah kita cepat-cepat ke sana.”
Setelah aku masuk rumah, istriku gugup dan berkata, “Aduh, bagaimana ini? Rasulullah saw. membawa semua sahabatnya.”
Jelas istri Jabir hanya punya makanan untuk sekitar sepuluh orang saja, dan kedatangan seluruh penggali parit Khandaq membuat dirinya cemas. Istri Jabir khawatir bila banyak orang yang tidak jadi makan. Akan tetapi, terjadilah mukjizat kepada daging dan adonan roti yang didoakan oleh Nabi Muhammad.
Said Hawwa (2020: 409-410) mengungkapkan:
Setelah itu, beliau berkata kepadaku, “Panggillah perempuan lain untuk membantu istrimu membuat roti.”
Kemudian berkata juga kepada istriku, “Ambillah dagingnya sedikit-sedikit dengan gayung, jangan dituangkan semuanya karena orang yang ada jumlahnya seribu.”
Beliau menyuruh para sahabatnya duduk sepuluh-sepuluh ketika makan. Demi Allah, mereka semua bisa makan hingga makanan masih berlebih dan mereka sudah kelihatan tidak lagi bersemangat makan, sedangkan periuk dagingnya masih penuh dengan makanan dan adonannya pun masih tetap banyak.
KOMENTAR ANDA