KEGEMPARAN terkait siomay haram menimbulkan kebingungan bagi konsumen. Pihak penjual siomay yang sangat laris itu sudah terang-terangan mengatakan kudapan yang dijual memang berbahan babi. Penjual pun merasa tidak bersalah lagi, kan sudah dibilang terus terang. Jadi, jika konsumen muslim masih saja menyantapnya, itu salah siapa?
Kemudian hari, penjual siomay laris itu pun berupaya memikat konsumen muslim dengan menjual juga siomay berbahan ayam dan ikan. Biar tidak ribut-ribut dipasanglah pengumuman; dijual siomay ayam dan ikan (halal) dan dijual siomay babi (haram).
Kendati demikian, ribut-ribut masih belum mereda. Pasalnya sejumlah pihak menilai siomay berbahan ayam dan ikan pun tercemar dengan bahan-bahan haram, atau bersentuhan dengan babi dalam proses memasaknya.
Kasus ini sungguh bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin, dalam rangka meningkatkan kewaspadaan terkait halal haram. Terlebih siomay memang sangat banyak beredar sementara daya kritis konsumen masih kurang.
Siti Nur Azizah pada buku Politik Hukum Produk Halal di Indonesia (2021: 74) menjelaskan:
Para konsumen pangan non kemasan yang makan dan minum di restoran, kafe, kantin, warung Tegal maupun pedagang kaki lima tidak pernah bertanya pada pelaku usaha atau produsen yang merupakan konsumen awal mengenai pangan yang diedarkan atau dijualnya halal atau tidak, karena ketidaktahuan konsumen muslim tentang pentingnya mengonsumsi produk pangan non kemasan halal.
Hal ini karena sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan juga Undang-undang Pangan serta Undang-Undang Jaminan Produk Halal belum maksimal. Konsumen muslim di Indonesia yang membeli produk pangan non kemasan dari restoran besar sampai dengan perdagangan kaki lima tidak mengetahui adanya produk halal.
Dari kutipan ini tergambar betapa pentingnya konsumen muslim proaktif menanyakan halal atau haramnya suatu produk. Jangan sampai siomay yang begitu menjamur membuat kita tidak peduli lagi standar syar’inya.
Pada laman resmi halalmui.org diuraikan bahan-bahan kritis yang berpotensi menjadikan siomay haram:
Jika siomay menggunakan daging yang berasal dari hewan laut, seperti ikan tengiri, udang, serta kepiting, dapat dipastikan siomay ini halal. Ikannya sendiri tentu halal. Namun, penambahan tepung, terlebih tepung yang sudah melalui proses industri di pabrik-pabrik, layak dicermati. Begitu juga bahan tambahan lainnya seperti bumbu penyedap, kecap, saus, dan sebagainya.
Dari sisi kehalalannya, tepung terigu relatif tidak ada masalah. Akan tetapi, berbagai bahan dan improving agents tersebut rentan terhadap berbagai pencemaran bahan haram. Sebagai contoh, vitamin B1 (thiamine), vitamin B2 (riboflavin), dan asam folat (folic acid) yang bersumber dari tanaman, tentu halal dikonsumsi. Vitamin-vitamin tersebut berubah status menjadi tidak halal manakala diproduksi secara mikrobiologis menggunakan media yang tidak halal.
Pengetahuan macam ini yang perlu diketahui oleh pedagang siomay. Selain babi yang jelas haram, ternyata masih banyak bahan-bahan lain yang berpotensi nonhalal.
Dalam sejarahnya, sekalipun terlanjur tenar siomay Bandung, tapi asal-usul siomay dari negeri China dan aslinya siomay memang berbahan babi. Berhubung telah menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat Indonesia maka muncul pula siomay ayam dan ikan.
Murdijati Gardjito pada buku Makanan Tradisional Indonesia Seri 3 (2019: 71) menerangkan: Dalam bahasa Mandarin, siomay disebut “shomai” sedangkan dalam bahasa Kanton disebut "siu magi" dan makanan ini berasal dari Mongolia Dalam. Uniknya, orang Mongolia Dalam menikmati siomay dengan cuka atau kecap asin sebagai dressing. Siomay dimasak dengan cara dikukus dan bentuk aslinya adalah bulat pipih dengan diberi garnish berupa telur kepiting, parutan wortel, serta kacang polong.
Dalam resep masakan China, siomay merupakan daging babi cincang yang dibungkus dengan kulit tipis dari tepung terigu. Sewaktu siomay sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia yang memiliki penduduk mayoritas muslim, isian siomay diganti dengan daging ikan tenggiri, udang, kepiting, atau ayam yang dicampur tepung tapioka, kemudian dibungkus dengan kulit pangsit.
Meskipun akar sejarahnya siomay adalah makanan berbahan babi, tidak ada alasan untuk tidak memberikan keamanan dan kenyamanan bagi konsumen muslim. Penjual siomay bahkan bukan hanya mewaspadai bahan babi tetapi juga bahan-bahan kritis lainnya.
Sedangkan konsumen muslimin harus pandai menjaga diri. Sudah jelas penjual menyebut siomay berbahan baku babi, maka jangan sampai iman kita lemah disebabkan nafsu yang rendah. Sementara itu pedagang siomay level besar hingga pedagang kaki lima hendaknya beritikad baik mengurus sertifikasi halal.
KOMENTAR ANDA