BEGITU terharu saat kita menyaksikan banyak manusia yang hatinya tersambung dengan Al-Qur’an. Ketika membaca kitab suci, hati mereka bergetar hingga air mata bercucuran. Al-Qur’an begitu menyentuh lubuk hati terdalam dan membekas dalam hidup dan mati manusia.
Ahmad Zuhri pada buku Risalah Tafsir (2023: 41) menulis, Imam Ghazali berpendapat adalah sunah menangis saat membaca Al-Qur’an. Karena Nabi Muhammad Saw bersabda: “Bacalah Al-Qur’an dan menangislah. Apabila kamu tidak menangis maka cobalah berupaya untuk berpura-pura menangis.”
Maksud dari berpura-pura menangis adalah menghadirkan rasa sedih di hati, sehingga nampak seperti mau menangis. Caranya, dengan merenungi makna Al-Qur’an seperti ancaman dan janji Allah, kemudian merenungi kekurangan diri dalam melaksanakan perintah-Nya hingga muncul rasa sedih dan menangis.
Apabila tidak juga muncul, maka menangislah karena itu sebab hal ini merupakan musibah yang sangat besar. Inilah sisi psikologis dan edukatif terbesar dalam membaca Al-Qur’an.
Menangis tatkala membaca ayat-ayat suci yang membahas tentang dosa-dosa serta azab neraka merupakan refleksi dari hati yang menjiwai Al-Qur’an. Dengan begitu, apa yang disampaikan kitab suci benar-benar meresap ke relung batin terdalam. Itulah menjadi tangisan kepasrahan seorang hamba kepada Rabb-nya.
Apabila tidak mampu menangis ketika membaca Al-Qur’an, maka tangisilah hati yang keras itu agar berubah menjadi lembut. Air mata ketika merenungi kandungan ayat-ayat suci mengantarkan hamba kepada cinta Tuhannya. Menjadi suatu kerugian yang teramat besar bila hati kita demikian membatu dari cahaya Al-Qur’an.
Menjiwai Al-Qur’an merupakan agenda penting bagi setiap muslim. Setiap kali membaca kitab suci, hendaknya jiwa kita benar-benar sampai kepada batinnya Al-Qur’an.
Pada banyak riwayat disebutkan, betapa sering Nabi Muhammad dan para sahabatnya menangis ketika meresapi ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam upaya itu, ada sesuatu menakjubkan yang dilakukan oleh Rasulullah. Seperti diungkap Syaikh Muhammad Al-Ghazali dalam buku Al-Qur’an Kitab Zaman Kita (2008: 30-31):
Sikap jiwa Nabi Muhammad Saw terhadap Al-Qur’an wajib diketahui. Sebagaimana digambarkan oleh Sayyidah Aisyah bahwa akhlak Nabi adalah Al-Qur’an. Ini berarti bahwa Nabi Saw hidup di tengah-tengah semangat Qurani dan yang terpancar darinya adalah perilaku Al-Quran.
Pola pikirnya, Iahir dan batin, selalu bersama Allah, sehingga saat beliau bersabdahal itu semata-mata berasal dari Allah juga. Terkadang beliau menyatu dengan alam saat merenung dan berpikir tentang kekuasaan Allah serta bercerita tentang masalah-masalah di seputar alam yang luas membentang ini.
Beliau juga seakan pernah hidup pada masa generasi sebelumnya, tatkala ia menceritakan kisah-kisah Al-Qur’an. Pada saat Al-Qur’an menggambarkan balasan-balasan di akhirat kelak, semua itu seolah-olah nyata di mata beliau. Inilah penggambaran betapa beliau benar-benar hidup di tengah semangat Al-Qur’an.
Menjiwai Al-Qur’an itu dibuktikan oleh Rasulullah dalam tingkah laku sehari-hari yang mencerminkan petunjuk-petunjuk kitab suci. Pemikiran beliau tidak terlepas dari bimbingan dan arahan Al-Qur’an.
Begitu meresapnya ayat-ayat suci ke dalam batinnya, maka ketika beliau menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’an akan sangat membekas bagi yang mendengarkan. Bukan hanya bergetar, tetapi memberi pengaruh kepada siapapun yang mendengarnya.
Maka beruntunglah mereka yang mampu meneteskan air mata saat membaca Al-Qur’an. Semoga itu menjadi saksi atas kebeningan hati Ketika merenungi kalam Ilahi.
KOMENTAR ANDA