RADEN Adjeng Kartini atau tepatnya Raden Ayu Kartini memimpikan perempuan Indonesia memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam hal pendidikan juga kesempatan untuk berkarya.
Sebagai perempuan dari keluarga bangsawan, hidup Kartini seharusnya ‘baik-baik’ saja. Namun pemikirannya yang maju, membuatnya bersikap kritis terhadap berbagai tradisi kuno yang menurutnya menempatkan perempuan di posisi inferior.
Perempuan harus bersuara halus dan lirih saat berbicara, sehingga sulit untuk terdengar tegas.
Perempuan harus berjalan perlahan, setapak demi setapak, sembari menduduk, sehingga sulit untuk bergerak sigap.
Perempuan, di usia yang sangat belia, harus dipingit untuk menunggu seorang laki-laki datang melamar.
Betapa irinya Kartini mendengarkan cerita yang disampaikan sahabatnya, Letsy Detmar, tentang apa yang terjadi di luar rumahnya.
Letsy, sebagai gadis Belanda, pernah bertanya kepada Kartini tentang “kelak kau ingin menjadi apa?” Letsy punya jawaban pasti yaitu ingin menjadi guru. Sementara Kartini kebingungan untuk mencari jawaban itu.
Saat Kartini—yang kala itu masih berusia tak sampai 15 tahun—menanyakan pertanyaan Letsy Detmar kepada sang ayah, maka sang ayah menjawab “menjadi Raden Ayu”.
Namun Kartini tidak puas dengan jawaban sang ayah. Siapa dan bagaimana sosok Raden Ayu? Apakah perempuan yang harus berjalan dengan bersimpuh, hanya diam di rumah, menunggu pinangan laki-laki tanpa bisa mengutarakan keinginannya sendiri?
Apakah Raden Ayu di masa kecilnya harus kehilangan waktu untuk bermain dan tidak bisa bersekolah karena harus menjalani masa pingitan?
Dari pertanyaan di masa belia itu, pemikiran Kartini terus berkembang. Ia tak pernah lelah membaca buku untuk memperluas pengetahuan dan wawasannya. Hingga kemudian ia memperjuangkan hak perempuan untuk bisa mendapat pendidikan yang layak.
Ia memahami bahwa pendidikan bagi perempuan bukan semata untuk mengejar gengsi apalagi dengan niatan untuk bersaing atau mengalahkan laki-laki. Melainkan, Kartini meyakini pendidikan yang baik akan sangat dibutuhkan perempuan karena kelak ia akan menjadi ibu bagi anak-anaknya.
Ibu sebagai madrasatul ula alias sekolah pertama tentulah harus cerdas. Dan tidak hanya cerdas secara ilmu pengetahuan tapi juga cakap dan terampil. Itulah mengapa kemudian ia mendirikan Sekolah Kartini, yang tidak hanya mengajarkan para murid untuk membaca dan menulis serta menggambar, tapi juga mengajarkan tata krama, sopan santun, juga memasak dan membuat kerajinan tangan.
Dan di zaman modern kini, apa yang dicita-citakan RA Kartini sudah menjadi kenyataan. Sudah banyak perempuan Indonesia yang mampu menyelesaikan sekolah hingga S2 dan S3 baik di dalam maupun luar negeri.
Demikian juga profesi yang digeluti perempuan sudah semakin meluas. Mulai dari guru, ilmuwan, insinyur, dokter, bankir, juga koki profesional. Satu demi satu rintangan dapat diatasi.
Sayangnya, tak sedikit perempuan yang melupakan niat awal RA Kartini memperjuangkan pendidikan. Mereka lupa, atau tidak menyadari, bahwa pendidikan yang baik bagi perempuan sejatinya menjadi bekal untuk menjadi ibu yang baik bagi anak-anak yang kelak menjadi generasi penerus.
Ada yang berjuang keras untuk bisa menyeimbangkan karier dan keluarga seperti Menteri Keuangan RI Sri Mulyani dan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi. Keduanya kini telah mencapai puncak karier, namun berhasil menjalankan peran baik sebagai istri dan ibu.
Atau Tri Mumpuni, ilmuwan perempuan yang dikenal sebagai “wanita listrik” karena memberdayakan pembangkit listrik tenaga mikro hidro di puluhan desa di Indonesia. Ia bergerak memberdayakan masyarakat bersama sang suami.
Sejatinya, perempuan yang berpendidikan tinggi harus bisa menjadi mercusuar bagi anak-anaknya dan juga bagi lingkungannya. Apalah artinya pendidikan tinggi tanpa kontribusi dan dedikasi bagi keluarga dan sesama.
Mengejar pendidikan tinggi juga bukan lantas menjadikan perempuan tidak memikirkan untuk berkeluarga. Tantangannya memang pasti lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Namun bukan hal mustahil untuk perempuan bisa membina rumah tangga dan memiliki anak.
Selalu ada jalan untuk mengharmonisasikan kehidupan profesional dan kehidupan pribadi. Bukan berarti harus bekerja di institusi besar, melainkan juga bisa menjadi pemilik usaha. Karena pada intinya yang terpenting adalah adanya knowledge transfer agar pendidikan yang kita miliki bisa bermanfaat.
Bukan salah Kartini jika ada perempuan Indonesia yang berbangga dengan pendidikannya, lalu memilih untuk ‘menang’ dari laki-laki, dan tidak ingin tunduk pada imamnya (dalam keluarga). Atau memilih untuk tidak mengemban tanggung jawab sebagai penerus peradaban (tidak mau menjadi ibu). Perempuan itu sebaiknya membaca kembali niat dan tujuan perjuangan seorang RA Kartini.
KOMENTAR ANDA