SEORANG gamer tersohor memilih terjun ke sebuah sungai besar, mengakhiri hidupnya sendiri secara tragis. Berita ini sebenarnya biasa saja, karena banyak sekali orang yang bunuh diri karena cinta. Banyak orang jatuh miskin, dikuras hartanya habis-habisan disebabkan cinta. Banyak juga yang rela mati demi cinta. Sayangnya, pengorbanan demikian dahsyat tidak dihargai oleh orang yang dicintai.
Mungkin kejadian semacam itu terkesan bodoh bagi sebagian kalangan, tetapi cinta sejati tetap saja dipuja-puji sepanjang masa. Namun, bagaimana bisa ada orang yang tega menyakiti dan mengakhiri hidupnya sendiri karena cinta?
Sejumlah alasan dapat menggambarkan bagaimana seseorang bisa menjadi korban cinta yang salah, pertama adalah perasaan terabaikan atau tidak dihargai. Saat seseorang mencintai secara bersungguh-sungguh tapi tidak mendapatkan respons yang sebanding, maka perasaan ini akan berujung kekosongan emosional. Perasaan cinta yang tidak dihargai dapat merusak kesehatan mentalnya.
Kedua, adalah ketidakseimbangan antara kuasa dan kontrol. Hubungan percintaan yang tidak sehat terlihat dari salah satu pihak yang lebih memegang kendali, baik secara emosional maupun fisik. Ketika seseorang kehilangan otonomi pribadinya dan merasa terkungkung, perasaan putus asa akan muncul.
Ketiga, beratnya penderitaan psikologis akibat perasaan diabaikan. Apabila cintanya tidak berbalas, seseorang bisa mengalami perasaan kehilangan yang mendalam. Ini bisa memicu depresi, kecemasan, dan bahkan keinginan untuk mengakhiri hidup.
Cinta mendapatkan tempat terhormat dalam ajaran Islam. Tetapi menghambakan diri pada cinta, apalagi sampai membinasakan diri demi cinta, tentu tidak bisa diterima. Cinta hanyalah bagian dari keindahan yang diciptakan Tuhan, bukan berarti kita mau dibutakan olehnya.
M. Quraish Shihab dalam buku Pengantin Al-Quran (2015, 67) menjelakan, tentu saja cinta semacam ini tidak direstui, karena itu Nabi Saw menasihati para pencinta: “Cintailah kekasihmu secara wajar, siapa tahu ia menjadi musuhmu suatu ketika, dan bencilah musuhmu secara wajar pula, siapa tahu ia menjadi kekasihmu suatu ketika.”
Saat bercinta, seseorang mestinya sadar tentang bahaya yang diakibatkan oleh pelampauan batas normal. Kesadaran tersebut dapat diperoleh melalui upaya menghadirkan nilai-nilai suci dalam benak, sehingga tidak terbawa hanyut oleh "cintanya" yang melampaui batas itu.
Pesan yang disampaikan melalui nasihat Nabi Muhammad saw. tersebut menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan dan kesadaran dalam cinta. Terlalu larut dalam perasaan dapat membawa risiko besar, termasuk ketika cinta berubah menjadi derita.
Mencintai seseorang secara wajar, seperti disarankan Rasulullah, mengandung tujuan mulia agar kita menyadari bahwa perasaan bisa berubah seiring waktu. Kesadaran inilah yang membantu kita menghadapi prahara cinta secara bijaksana dan tidak terjerat emosi semata.
Menanamkan nilai-nilai suci dalam hubungan, juga sangat penting. Nilai-nilai ini mencakup penghargaan, kesetiaan, dan hormat terhadap satu sama lain. Dengan mempertahankan kesadaran ini, kita dapat menghindari risiko melampaui batas dalam cinta.
Cintailah kekasihmu sekadarnya saja, tidak boleh berlebihan. Jangankan demi wanita lain yang belum ada hubungan apa-apa, cinta kepada istri sah pun tidak boleh melampaui cinta pada Allah.
Hidup kita ini anugerah Allah dan tidaklah pantas kita mengakhirinya demi cinta kepada manusia. Kehidupan merupakan nikmat Allah yang dimanfaatkan untuk beribadah pada-Nya, bukannya dihabiskan untuk suatu pengorbanan sia-sia kepada cinta yang salah.
Kebanyakan manusia terbiasa memuja cinta, mereka tidak mau cinta disalahkan. Ingatlah, kita tidak berkewajiban menyembah cinta. Taruhlah cinta pada tempat yang terhormat, tetapi jangan jadikan cinta tameng dari kelemahan hati.
Kita harus mengedepankan kesadaran akan penghargaan terhadap diri sendiri. Setiap pencinta perlu menyadari bahwa cinta yang sejati adalah yang memberi kebahagiaan, kedamaian, dan penghargaan, bukan penderitaan dan keputusasaan.
KOMENTAR ANDA