SEKUAT apapun kita berusaha, tetap saja Allah yang memutuskan. Kalimat ini begitu ringkas, namun dapat membelah umat manusia karena perbedaan pendapat. Ada yang terharu dan menyadari tugasnya adalah berusaha dengan giat, perkara hasil diserahkan pada kekuasaan dan keadilan Allah. Sebaliknya, ada yang tidak bersungguh-sungguh karena berpandangan bahwa semua sudah dalam keputusan-Nya.
Yusuf Al-Qaradhawi pada bukunya Serahkan Hidupmu Hanya pada Allah (2023: 258) mengisahkan pengakuan seseorang:
“Saya pernah menunaikan haji sebanyak 14 kali tanpa mengenakan alas kaki, karena hendak tawakal. Satu kali kaki tertusuk duri dan saya mengingatkan diri sendiri bahwa sedang bertawakal. Maka, saya hanya menggosok-gosokkannya ke tanah lalu melanjutkan perjalanan. Dengan kata lain, mencabut duru yang menancap di kaki dapat mengurangi makna tawakal yang diyakini”.
Dari kisah di atas, orang tersebut berpandangan bahwa segalanya sudah menjadi Keputusan Allah, tidak perlu repot memakai alas kaki karena sakit maupun sehat sudah menjadi kehendak-Nya. Jadi, ia membiarkan kakinya tertusuk duri tanpa diobati. Jika perlu, durinya pun tidak perlu dicabut dari kakinya.
Kejadian ini tentu saja mengundang berbagai pandangan. Ada yang menganggapnya konyol dalam memahami tawakal. Apa yang dikisahkannya menggambarkan satu sudut pandang ekstrem tentang tawakal. Padahal, Islam mengajarkan keseimbangan antara ikhtiar manusia dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah.
Yang terpenting, tawakal bukan berarti meninggalkan usaha atau ikhtiar sepenuhnya. Penting untuk melindungi kaki dengan sandal atau sepatu, barulah kemudian bertawakal. Karena, tawakal mengajarkan bahwa setelah usaha maksimal, seseorang patut menyerahkan hasilnya kepada Allah dan percaya pada ketetapan-Nya.
Dalam keseharian, sikap tawakal yang seimbang adalah melakukan yang terbaik dalam segala urusan kehidupan, kemudian berserah diri kepada kehendak Allah. Dengan tawakal, kita berani menghadapi kesulitan bukan dengan kepasrahan melainkan mengerahkan daya upaya untuk menyelesaikannya.
Tidak ada faedahnya menghitung-hitung seperti apa rezeki di masa mendatang, karena begitu hasilnya meleset bisa melemahkan semangat dan menimbulkan kekecewaan. Percayalah bahwa tawakal membebaskan kita dari penderitaan batin, sebab hanya orang beriman yang mampu bertawakal dengan benar.
KOMENTAR ANDA