DENGAN congkaknya Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi menumpahkan darah umat Islam. Ia tega menghabisi Abdullah bin Zubair, putra Asma binti Abu Bakar. Bahkan Hajjaj menemui Asma dan mencaci atas kematian putra yang dicintai kaum muslimin itu.
Dengan sinis Hajjaj berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang apa yang aku lakukan?”
Namun kedatangan Hajjaj itu tidak menggentarkan nyali Asma. Dengan tenang ia menjawab, “Kamu telah merusak dunianya dan dia telah merusak akhiratmu!”
Asma melanjutkan, “Rasulullah pernah menceritakan kepada kami bahwa di antara kaum Tsaqif itu ada seorang pembohong dan seorang perusak (tirani). Pembohong itu sudah kita lihat, sedangkan perusak (tirani), aku kira kamulah orangnya.”
Mendengar itu, Hajjaj langsung berdiri dan meninggalkan Asma tanpa melanjutkan lagi dialognya. (Disarikan dari Abdul Halim Abu Syuqqah dalam buku Kebebasan Wanita [1997: 113])
Sepenggal kisah di atas cukup menggambarkan betapa berhasilnya Nabi Muhammad menanamkan keberanian di sanubari Asma binti Abu Bakar. Saat remaja dulu, dirinya yang bertaruh nyawa mengantarkan makanan bagi Nabi dan Abu Bakar yang bersembunyi di gua Tsur, hingga Rasulullah dan ayahnya selamat dari kejaran para algojo Quraisy.
Nilai-nilai keberanian ini terus dijaga oleh Asma, bersemi di hatinya hingga dia tua renta. Bahkan ketika putra tercinta dihabisi oleh penguasa yang zalim, sama sekali perempuan itu tidak menunjukkan rasa gentar. Asma bak singa betina. Tidak ada raungan kesedihan, tidak ada ratapan kepedihan. Baginya, sang putra telah mati syahid sebagai ksatria.
Wafatnya putra tercinta yang dibunuh dengan kejam dijadikan pengingat bagi Hajjaj akan kezaliman yang menghantarkan Hajjaj ke kehidupan akhirat yang hancur. Pemenang sejati adalah sang putra, sementara Hajjaj hanyalah seorang pecundang.
Asma pun menunjukkan sikap yang menakjubkan, tetap tenang, tidak marah, mengamuk, apalagi lepas kendali. Sungguh dirinya pemberani sejati yang menciptakan ketenangan meski berharapan dengan musuh.
Ketenangan itu justru sebagai sikap cerdik yang ditonjolkan Asma, sehingga mampu mematahkan mental lawan. Di hadapan perempuan tua renta yang hampir berusia 100 tahun, Hajjaj dibuat tidak berkutik, angka kaki menanggung malu. Asma tidak memukulnya dengan pedang, melainkan dengan ketenangan. Tidak menusuknya dengan tombak, melainkan dengan kalimat-kalimat kebenaran.
Perempuan hebat ini memberikan teladan, bahwa keberanian itu akan tergambar dari kemampuan pengendalian diri tatkala sedang benar-benar emosi. Luapan kemarahan sama dengan menunjukkan kerapuhan jiwa. Oleh sebab itu, tetaplah dalam level pengendalian diri agar energi keberanian tidak sirna oleh ledakan amarah.
KOMENTAR ANDA