Ilustrasi suami istri/Freepik
Ilustrasi suami istri/Freepik
KOMENTAR

PERNIKAHAN menghalalkan terjadinya hubungan seksual di antara suami istri, artinya sesuatu yang dulu diharamkan berkat ijab kabul makanya berubah menjadi halal. Namun demikian, hubungan intim pasutri tidak bebas kapan saja, karena ada masanya malah menjadi terlarang.

Surah al-Baqarah ayat 222, yang artinya, “Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, ‘Itu adalah sesuatu yang kotor.’ Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.”

Imam Asy-Syafi'i pada kitab Al-Umm#10: Kitab Induk Fiqih Islam (2020: 160-161) menguraikan:

Sebagian ahli ilmu Al-Qur’an meyakini bahwa firman Allah Swt., “sampai mereka suci", maksudnya adalah “sampai para perempuan itu menunjukkan kesucian"; “Apabila mereka telah suci”, maksudnya, “bersuci dengan menggunakan air”; “maka campurilah mereka itu dari tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian".

Tampaknya, pengharaman yang Allah Swt. tetapkan atas tindakan menggauli perempuan dalam kondisi haid muncul disebabkan kotornya haid. Setelah itu, menggauli perempuan kembali mubah setelah mereka suci. Adapun yang dimaksud "mereka kembali suci" adalah ketika mereka bersuci menggunakan air dari kondisi haid.

Tergambar kebijaksanaan syariat dalam menjaga kebersihan dan kehormatan wanita selama masa haid. Karena haid merupakan kondisi alami yang menjadi sebab seorang perempuan berada dalam keadaan tidak suci. Bukan hanya fisik saja, tetapi juga spiritual, yang mana perempuan selama haid dianggap tidak dalam kondisi yang suci untuk melakukan ibadah tertentu dan juga berhubungan intim.

Allah memerintahkan supaya menjauhkan diri dari perempuan selama menjalani masa haid. Maksudnya, menahan diri agar tidak berhubungan seksual sampai masa haid benar-benar selesai. Tuntunan ini semata-mata bertujuan demi menjaga kebersihan dan kesehatan, sekaligus penghormatan terhadap kondisi fisik dan psikis perempuan.

Larangan ini hanya buat sementara saja, sebab sesudah perempuan tersebut bersuci dari haid dengan melakukan mandi besar, maka hubungan intim suami istri kembali halal dilakukan. Perlu digarisbawahi bahwasanya kebolehan hubungan seksual ini terjadi tatkala perempuan telah berhenti haidnya itu telah melakukan mandi besar, sebagai penanda kesucian secara penuh.

Tentunya banyak hikmah yang dapat digali di balik haramnya menggauli istri yang lagi menjalani masa haid, tetapi pendapat yang berikut ini cukup menarik untuk dicermati.

Muhammad Mutawalli Sha`rawi pada buku Anda Bertanya Islam Menjawab (2008, 167) menjelaskan:

Menggauli istri yang sedang haid dapat menyebabkan busuknya rahim dan dapat pula mengakibatkan kemandulan. Kondisi haid apabila disetubuhi bisa berakibat infeksi pada rahim, dan panas badan yang tinggi. Sedang kepada suami dapat berakibat gangguan saluran kencing, gangguan pada kelenjar, dan penyakit kelamin.

Ternyata menggauli istri yang sedang haid diyakini berdampak pada risiko kesehatan yang signifikan, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Risiko infeksi, kemandulan, dan berbagai gangguan kesehatan lainnya menunjukkan bahwa larangan syariat berpijak kepada dasar yang kuat dalam menjaga kesehatan dan keselamatan. Sehingga dengan mematuhi larangan ini adalah pilihan yang bijaksana demi kesejahteraan jangka panjang.

Lantas, bagaimana kemesraan yang dilakukan saat istri haid yang tidak berhubungan dengan kemaluan?

Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi' pada bukunya Kado Pernikahan (2010: 315) menerangkan:

Menggauli istri itu ada dua macam:

1. Menggauli istri pada tubuh bagian atas pusar dan bagian bawah lutut dengan menggunakan alat kelamin, atau dengan memeluk, atau dengan mencium, dan lain sebagainya. Para ulama sepakat, hal itu hukumnya boleh.

2. Menggauli istri pada bagian tubuh antara pusar hingga lutut, tanpa menyentuh kemaluan atau dubur. Dalam hal ini para ulama ahli fikih berselisih pendapat. Tetapi pendapat yang diunggulkan, ialah pendapat yang menyatakan bahwa hal itu dilarang, dengan alasan haram sebagai langkah antisipasi jangan sampai orang yang berangkutan terjebak dalam keharaman. Sebab, siapa yang berada di sekitar tempat yang berbahaya dikhawatirkan ia akan terperosok ke dalamnya.

Bermesraan dengan istri yang sedang haid memerlukan wawasan yang mendalam tentang batasan-batasan yang ditetapkan agama. Sekalipun bermesraan di bagian tubuh atas pusar dan bawah lutut diperbolehkan berdasarkan konsensus ulama, tetapi aktivitas yang melibatkan bagian antara pusar dan lutut, sekalipun tanpa kontak dengan kemaluan atau dubur, memiliki perbedaan pendapat.

Pendapat yang melarangnya didasarkan pada prinsip kehati-hatian, demi mencegah terjadinya pelanggaran syariat. Sedangkan pendapat yang memperbolehkan berargumen bahwa selama tidak ada kontak langsung dengan kemaluan yang diharamkan, kemesraan tersebut tetap dalam batas yang dibolehkan. Namun, pada hakikatnya yang diharamkan adalah menggauli istri yang lagi haid, yang dimaksudnya larangan berhubungan seksual.

Demikianlah fikih Islam mengatur supaya tuntunan Allah dilaksanakan sepenuhnya, dan berlandaskan keyakinan bahwasanya menjaga kebersihan dan kesucian diri merupakan bentuk ketaatan terhadap hukum Allah.




Inilah Puasa yang Pahalanya Setara Berpuasa Setahun

Sebelumnya

Saat Itikaf Dilarang Bercampur Suami Istri, Maksudnya Apa?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Fikih