TIDAK banyak orang yang tahu bahwa secara tidak sengaja kita telah mengonsumsi tepung darah. Tepung tersebut masuk dalam bahan santapan secara langsung, tercampur dalam makanan atau minuman. Kadang kala, tepung tersebut terkontaminasi secara tidak langsung lewat pakan ternak yang kemudian disembelih dan dikonsumsi manusia.
Dalam buku Pengetahuan Bahan Makanan dan Minuman Seri: Babi dan Khamr (2015, 71), Ariani menjelaskan, kemajuan ilmu dan teknologi dalam pengolahan pangan seringkali menyamarkan bahan yang haram ke dalam suatu produk makanan. Sebut saja darah babi. Selain diolah menjadi black pudding dan dedeh (mares), darah dapat dikeringkan dan diolah menjadi tepung yang berfungsi sebagai bahan pakan ternak atau ditambahkan ke dalam pangan olahan tertentu yang kemudian dikonsumsi manusia.
Penambahan tepug darah itu bertujuan mempertinggi nilai gizi, sebab mengandung banyak zat besi dan protein. Tepung darah babi ini juga bisa menjadi bahan pengikat atau bahan pengisi untuk memperbaiki rasa atau mutu pangan olahan. Contoh simpelnya, tepung darah ini sering ditambahkan ke dalam pewarna sosis agar memiliki daya ikat yang lebih baik.
Di halaman selanjutnya, Ariani memaparkan, proses pembuatan tepung darah diawali dengan memisahkan plasma daran dan serumnya, lalu dikeringkan menjadi plasma darah kering yang siap digunakan untuk banyak hal. Sebut saja bovine plasma protein isolate (isolat plasma darah) yang digunakan untuk menggantikan sebagian tepung gandum dalam pembuatan roti atau pengganti putih telur pada pembuatan kue.
Dari darah tersebut juga dapat dihasilkan konsentrat globin yang dapat digunakan sebagai pengganti Sebagian daging tanpa lemak pada produk patty (meat pie). Atau, hasil gel fibrin yang dapat ditambahkan pada daging mentah sehingga membentuk reformed meat products. Sementara, darah kering berfungsi sebagai pewarna merah dalam makanan.
Fakta ini menjadi warning keras bagi umat muslim, terutama terkait kehalalannya. Darah adalah najis, sehingga produk turunannya tidak boleh dikonsumsi.
Menjadi permasalahan besar yaitu teknologi modern berperan dalam menyamarkan bahan haram tersebut, sehingga konsumen sulit untuk mengidentifikasi kehadirannya. Tapi, trik ini masih bisa dicermati dengan langkah-langkah taktis.
Kunci utamanya tentu saja ada pada produsen. Meskipun mereka sangat mengedepankan efisiensi dengan mencari bahan yang lebih murah, namun alangkah baiknya secara terbuka memberikan informasi akurat mengenai sumber bahan sebagai peringatan kepada konsumen muslim.
Inilah yang perlu diperhatikan seiring pengetatan sertifikasi halal oleh pemerintah. Dibutuhkan ketelitian yang amat sangat dan berkompeten, disertai profesionalitas yang mampu melindungi kenyamanan umat.
Penting pula mengedukasi diri agar lebih waspada. Misalnya, ibu-ibu yang ingin menggunakan tepung merah perlu memastikan terlebih dulu bahwa itu bukanlah tepung darah.
Produk olahan memang sedang digandrungi manusia modern, hanya saja di situ pula bahan nonhalal mudah masuk. Dengan menerapkan langkah-langkah di atas, harapannya perlindungan terhadap konsumen muslim lebih terjamin.
KOMENTAR ANDA