Ka'bah dikelilingi jemaah haji/Freepik
Ka'bah dikelilingi jemaah haji/Freepik
KOMENTAR

MENGAPA belum juga berhaji?

Jawabannya, karena belum dapat panggilan. Sekilas jawaban itu terdengar begitu umum, sangat sering terdengar. Meskipun demikian memang ada juga kebenarannya, bahwasanya haji adalah suatu panggilan.

Siapapun tidak akan berangkat haji kalau belum mendapatkan panggilan. Mengapa disebut panggilan haji dan siapakah yang memanggil?

Surat al-Hajj ayat 27, yang artinya, “Wahai Ibrahim, serulah manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.”

Tuhan yang memerintahkan supaya Nabi Ibrahim menyeru umat manusia supaya berhaji ke Baitullah. Hebatnya, seruan Nabi Ibrahim di sebuah padang pasir tandus dan sunyi menyebar ke segala penjuru dunia, dan hingga akhir masa para tamu Allah terus berdatangan ke Ka’bah.

Muhammad Quraish Shihab dalam buku Lentera Al-Quran Kisah dan Hikmah Kehidupan (2008, 163) menjelaskan:

Kumandangkanlah panggilan kepada manusia untuk melaksanakan haji,” demikian perintah kepada Nabi Ibrahim.

“Suaraku tidak akan dapat terdengar oleh mereka, Ya Allah.”

“Yang penting serukan panggilan itu, Kami akan memperdengarkannya.”

Demikian dialog antara Tuhan dan Nabi Ibrahim yang ditemukan riwayatnya dalam berbagai kitab tafsir, Mahabenar Allah, tidak seorang manusia (muslim) pun yang tidak pernah mendengar adanya panggilan itu. Tidak seorang manusia (muslim) pun yang tidak mengetahui adanya kewajiban memperkenankan panggilan itu.

lbadah haji sudah demikian populer di kalangan umat sehingga ia temasuk dalam kategori apa yang dinamai ma’lumun min al-din bi al-dharurah (pengetahuan pada tingkat aksioma) sehingga tidak ada alasan yang dapat dikemukakan untuk berkata, “Saya tidak tahu.” Demikianlah Tuhan menepati janji-Nya.

Semua orang telah mendapatkan panggilan, meskipun beraneka ragam sikap manusia menghadapi panggilan tersebut. Ada yang ingin memenuhinya, mampu, serta kemudian melaksanakannya; ada yang ingin dan mampu, tapi ada aral yang melintang sehingga maksudnya tidak tercapai; ada juga yang mampu, kesempatan baginya terbentang, tetapi hatinya tidak.

Sehingga dapat dirumuskan bahwa panggilan untuk berhaji dihadapi dengan berbagai sikap dan situasi oleh manusia. Meskipun ada yang siap dan berhasil melaksanakannya, ada juga yang terhalang oleh rintangan, serta mereka yang memiliki kesempatan tetapi kurang niat. Hal ini mencerminkan keragaman kondisi dan prioritas setiap muslim dalam menghadapi panggilan haji yang penting ini.

Tidak sembarangan orang yang mendapatkan panggilan haji, sebab Tuhan hanya memanggil mereka yang memenuhi kriteria istitha’ah (kemampuan).

M. Shaleh Putuhena dalam bukunya Historiografi Haji Indonesia (2007, 55) menerangkan:

Fakhruddin ar-Razi menjelaskan bahwa istitha’ah itu mencakup dua hal, yaitu (1) bekal (az-zad) yang telah tersedia dan kesanggupan untuk melalukan perjalanan (ar-rahilah).

Orang yang tergolong istitha’ah dan dikenai kewajiban haji adalah:

1. Sehat badan. Jika seseorang sakit atau terlalu tua, ia tidak dikenai kewajiban melaksanakan ibadah haji. Akan tetapi, ia bisa mewakilkan pelaksanaan ibadah haji kepada orang lain;

2. Keadaan perjalanan aman;

3. Memiliki harta yang cukup sebagai bekal untuk menjamin kesehatan, kebutuhan pokok (makan dan minum), pakaian, tempat tinggal, untuk keperluan melaksanakan haji, dan untuk kembali ke tempat atau negeri asalnya;

4. Tersedianya pengangkutan untuk pergi dan pulang bagi mereka yang bertempat tinggal di daerah yang jauh dari Makkah; dan

5. Tidak terdapat sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak boleh melaksanakan haji, seperti dipenjarakan, atau ada larangan dari pemerintah.

Memang benar haji itu tergantung panggilan, dan setiap insan telah diseru oleh Nabi Ibrahim untuk menjadi tamu Allah. Akan tetapi, hendaknya kita tidak berlindung di balik alasan belum mendapat panggilan untuk berhaji.

Kita perlu meningkatkan kapasitas diri untuk memenuhi kualifikasi sebagai tamu Allah. Kita hendaknya berjuang memenuhi kriteria istitha’ah, sehingga kita benar-benar layak mendapatkan panggilan berhaji dari Allah Ta’ala.




Menyelamatkan Hati dari Rasa Sakit

Sebelumnya

Bangsa Bermental Merdeka

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur