RESILIENSI alias kemampuan beradaptasi dan tetap kuat dalam situasi sulit merupakan sebuah karakter yang tidak mudah dibangun dalam diri seseorang.
Betapa tidak, tentu tidak mudah untuk seseorang bisa menghadapi, bertahan dalam keadaan tertekan, berhadapan dengan kesengsaraan dan trauma, juga mengatasi masalah dan menjadi (lebih) kuat setelah mengalami berbagai kesulitan.
Karena itulah, bisa dikatakan bahwa seseorang yang memiliki resiliensi berarti dia telah mampu mengambil hikmah dan bertumbuh lebih baik dari bermacam kegagalan dan kesalahan dalam hidupnya.
Resiliensi dapat dimulai dengan jujur tentang kelebihan dan kekurangan diri. Dia menyadari dan mengakui kesulitan yang sedang dihadapi. Dengan begitu, dia akan berusaha mencari solusi. Bukan lari dari masalah. Dan dalam proses mengatasi masalah itu, dia tak segan untuk meng-upgrade diri dan memperbaiki kekeliruan yang pernah kita buat.
Untuk membangun resiliensi, seseorang harus mampu mengembangkan pikiran positif, selalu menjaga kesehatan, menjaga koneksi sosial dengan baik, dan tidak ragu untuk meminta bantuan jika memang diperlukan.
Resiliensi menjadi tantangan besar bagi para orang tua zaman now dalam mendidik anak. Kita sebagai orang tua mesti mempersiapkan anak agar mampu bertahan dan unggul di masa depannya kelak.
Banyak dari orang tua merasa mereka harus menyayangi anak dengan menyediakan berbagai fasilitas sekunder dan tersier. Orang tua memanjakan anak dengan berbagai kemudahan dengan dalih 'sayang anak', padahal dampaknya bisa berbahaya untuk masa depannya kelak. Anak terbiasa dilayani dan terbiasa dipenuhi keinginannya. Tidak kenal berjuang untuk meraih impian. Terbayang tidak, bagaimana nanti dia menghadapi persaingan di kampus atau di tempat kerja?
Satu hal penting yang mesti dipahami adalah tantangan anak-anak kita jauh lebih besar dari masa kita dulu. Persaingan pun semakin sengit. Namun bukan berarti kita mendidik anak dengan cara keras dan penuh tekanan. Sebaliknya, kita sebagai orang tua harus mampu berkomunikasi dengan anak secara sehat dan menjaga bonding agar selalu kuat.
Kita hendaknya mampu memancarkan kasih sayang yang tulus untuk anak sehingga anak mampu merasakannya. Ketika si buah hati sudah merasa dicintai, kita akan lebih mudah membimbing dan mengajarkan anak tentang berbagai karakter unggul yang mesti dia miliki. Jangan sampai niat kita ingin menyemangati, tapi anak justru menganggap orang tua membebaninya.
Temani anak dan hadirlah utuh saat dia sedang menghadapi kesulitan. Bimbinglah anak untuk survive dan see the light at the end of the tunnel. Jangan lupa mendoakan anak tumbuh menjadi pribadi tangguh, yang meskipun menghadapi berbagai masalah akan sanggup untuk bangkit lagi.
KOMENTAR ANDA