Oleh: Budiman Tanuredjo, Wartawan Senior “Satu Meja” Kompas TV
“…Dakhla memang memadukan suasana gurun dan laut. Ia menawarkan eksotisme tersendiri… Warna kecoklatan pasir gurun berpadu dengan air laut yang biru menawarkan romantisme suasana Dakhla yang begitu hening dan sepi.”
Dakhla bukan hanya nama sebuah kota. Ia punya banyak cerita. Letaknya di semenanjung dekat Sahara. Dakhla boleh jadi menjadi kota kecil ujung dunia. Di Samudera Atlantik sana. Di Afrika bagian utara. Oleh Perserikatan Bangsa Bangsa, Sahara Barat (Western Sahara) dianggap masih dalam status sengketa dan diberi nama non self-governing territory atau teritori yang belum berpemerintahan sendiri. Wilayah Sahara Barat diklaim Republik Demokratik Arab Sahrawi. Namun realitanya, pemerintahan Kerajaan Maroko dan pemerintah regio Dakhla hadir di sana.
Dakhla adalah kota turis di Semenanjung di Lautan Atlantik. Berpenduduk tak sampai 200.000 jiwa. Dakhla menjadi menarik karena menjadi kota tempat bertemunya gurun Sahara dan Lautan Atlantik. Semenanjung Dakhla, jika dilihat di Google Map, tampak seperti usus buntu. Panjang dan tipis. Bandara Dakhla berada di dekat ujung semenanjung. Dan, kota Dakhla lama tumbuh di sana.
Saya datang ke Dakhla bersama sejumlah wartawan Indonesia atas undangan Kedutaan Besar Maroko di Jakarta bersama Persaudaraan Indonesia-Maroko. Mayoritas penduduk Dakhla berbahasa Prancis dan Arab. Kami mendarat di Bandara Dakhla setelah terbang selama dua jam dari Bandara Marakesh menggunakan pesawat Air Arabia pada hari Minggu.
Berbeda dengan kedatangan rombongan Bandara Casablanca, di Dakhla pengawasan terasa lebih ketat. Pemeriksaan terhadap paspor pengunjung dilakukan lebih ketat dan detil. Begitu juga halnya saat check-in di hotel Bavaro Beach. Setiap tamu hotel yang menginap diminta mengisi formulir dalam bahasa Perancis detil dan lengkap. Sesuatu yang sebenarnya biasa saja.
Bavaro Beach yang mulai dibangun lima tahun lalu, terletak sedikit agak jauh dari pusat kota. Pengembangan wilayah Dakhla lebih banyak ke arah kontinen Afrika.
“Dakhla berkembang sangat pesat,” ujar Ketua Persahabatan Indonesia-Maroko Teguh Santosa yang juga pemetisi dari Indonesia untuk urusan Sahara Barat.
Derap pembangunan di Semenanjung Dakhla amat terasa. Di kiri kanan jalan menuju ke kontinen sudah terkavling-kavling pembangunan resor, properti, hotel, restoran. Pemerintah region Dakhla membuka diri untuk investor asing dengan segala fasilitas yang ada. Sejumlah investor internasional telah hadir di Semenanjung Dakhla. Bahkan untuk menarik turis kelas menengah, menurut Nabiel Ameziane yang mengurusi promosi dan investasi di Dakhla, pemerintah memberikan subsidi 50 persen dari harga tiket. Dakhla mengincar turis-turis Eropa untuk healing di Dakhla.
Jumlah turis ke Dakhla terus meningkat. Pada tahun 2023 sebanyak 235.000 penumpang mendarat di Dakhla dari kota-kota sekitar Maroko atau penerbangan langsung dari Paris ke Dakhla sebanyak tiga kali seminggu. Lama tinggal di Dakhla rata-rata 3,7 hari.
Dakhla memang memadukan suasana gurun dan laut. Ia menawarkan eksotisme tersendiri. Tidak seperti imajinasi sebelum tiba bahwa wilayah Gurun Sahara adalah panas dan gersang. Dakhla justru lebih adem dibandingkan Marakesh yang mencapai 38-42 derajat Celcius. Temperatur di Dakhla sekitar 21-22 derajat Celsius. Warna kecoklatan pasir gurun berpadu dengan air laut yang biru menawarkan romantisme suasana Dakhla yang begitu hening dan sepi. Selain ada Ocean Academy, Festival Kitesurfing, pelatihan yoga menjadi tawaran tersendiri.
Para turis yang mayoritas berasal dari Perancis bisa tinggal Dakhla sampai lima hari untuk mengikuti semua aktivitas gurun dan laut serta makanan layanan penuh selama tiga kali. Ada penerbang langsung dari Paris ke Dakhla tiga kali seminggu. Dan dua penerbangan dari Casablanca dan Marakesh.
“Pemerintah Dakhla memberikan subsidi tiket 50 persen bagi wisawatan yang datang ke Dakhla” kata Nabil Ameziane, pejabat dari kantor investasi di Dakhla. Karena lokasinya lebih berdekatan ke Eropa, turis Eropa khususnya Perancis lebih banyak yang datang ke Dakhla untuk menyepi dan menyendiri. Kembali menyatu dengan alam, gurun dan lautan. Back to nature.
Wakil Presiden Dakhla-Qued-Dahab, Battal Lambarki mengatakan, Dakhla terus membangun wilayahnya. Berbagai mega proyek dibangun di sana, termasuk Pelabuhan New Dakhla Atlantik, Zona Industri dan Logistik Afrika Barat, Dakhla Tiznit Expressway, dan Stasiun Desalinasi karena ketersediaan air bakal menjadi masalah besar. Battal Lambarki menyampaikan sebuah pesan bahwa, “Tidak akan ada pembangunan tanpa perdamaian. “No development without peace,” ucapnya ketika sengketa wilayah yang belum usai.
Langkah itu sejalan dengan visi Raja Maroko. Perkembangan benua Afrika tentunya tak bisa dilepaskan visi dari Raja Maroko Mohamed VI. Raja Mohammed VI mengatakan, “Africa’s time arrived. The century must be Africa’s One“.
Kota-kota di Maroko, seperti Casablanca, Marakesh, Fez, dan Dakhla memang berbeda. Datang dan berlibur ke Dakhla adalah ikhtiar meninggalkan kepengaban dunia untuk menyepi dan berbaur dengan gurun dan lautan. Tinggal di bungalow di tengah gurun dan di pinggir amat mempersona. Namun, semua itu ada harganya.
Satu pekerjaan rumah yang perlu ditangani pemerintah adalah soal lalat. Lalat bisa mengganggu kenyamanan wisatawan. Seorang teman berseloroh, lalat hanya satu tapi temannya yang banyak.
Tulisan ini dimuat pertama kali di backtobdm.com, dimuat di sahabatmaroko.com atas izin penulis.
KOMENTAR ANDA