BADAN Pusat Statistik (BPS) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan hasil indeks literasi keuangan paling rendah dialami generasi muda usia 15-17 tahun dalam Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024.
Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, survei tersebut terbagi dalam kelompok umur 15-17 tahun, 18-25 tahun, 26-35 tahun, 36-50 tahun, dan 51-79 tahun.
Kelompok 26-35 tahun, 36-50 tahun, dan 18-25 tahun memiliki indeks literasi keuangan komposit tertinggi yaitu masing-masing sebesar 74,82 persen, 71,72 persen, dan 70,19 persen.
"Sebaliknya kita bisa lihat di sini untuk kelompok umur 15-17 dan juga 51-79 memiliki komposit terendah yaitu sebesar 51,70 persen dan 52,51 persen, begitu juga dengan indeks literasi keuangan syariah," ungkapnya saat rilis hasil SNLIK 2024 di kantor BPS, Jumat (2/8/2024).
Friderica melanjutkan, kelompok umur 26-35 tahun, 36-50 tahun, dan 18-25 tahun juga memiliki indeks inklusi keuangan komposit tertinggi yaitu masing-masing 84,28 persen, 81,5 persen dan 79,21 persen. Sementara paling rendah yaitu kelompok 51-79 tahun sebesar 63,53 persen dan 15-17 tahun sebesar 57,96 persen.
Lebih rinci lagi jika dilihat menurut tingkat pendidikan yang berhasil ditamatkan, perguruan tinggi, SMA sederajat, dan SMP sederajat memiliki indeks literasi keuangan tertinggi yaitu 86 persen, 75 persen dan 65,76 persen. Sementara tidak tamat SD sederajat dan tamat SD sederajat indeks komposit terendah 38,19 persen dan 57,77 persen.
Sementara untuk inklusi keuangan, paling rendah adalah kelompok tamat SD sederajat dan tidak tamat SD sederajat dengan indeks komposit masing-masing 62,58 persen dan 51,53 persen.
Kemudian menurut pekerjaan atau kegiatan sehari-hari, pegawai profesional sebesar 83,22 persen, pengusaha swasta 78,32 persen, dan ibu rumah tangga 64,4 persen adalah kelompok dengan memiliki tingkat kelompok literasi yang tertinggi.
"Sebaliknya mereka yang belum bekerja, pelajar-mahasiswa, pensiunan, purnawirawan memiliki komposit literasi terendah. Pelajar mahasiswa sekitar 56,42 persen," tutur Friderica.
Adapun indeks inklusi keuangan komposit terendah dialami oleh kelompok petani peternak pekebun dan nelayan dengan 62,26 persen, disusul oleh tidak/belum bekerja sebesar 55,10 persen. Adapun kelompok pelajar mahasiswa memiliki indeks inklusi keuangan komposit 69 persen atau berada di posisi ke-5.
Friderica mengakui anak-anak muda alias Generasi Z paling berisiko mengalami masalah keuangan karena minim literasi keuangan, namun memiliki literasi digital yang sangat tinggi sehingga mudah mengakses layanan keuangan digital.
"Ini juga concern kami, mereka itu lebih bahaya secara digital mereka sangat literate, jempolnya canggih kemana-mana, tapi financially mereka belum literate, ini bahayanya karena mereka sangat mudah mengakses tapi mereka tidak paham," jelasnya.
Selain itu, dia juga menyoroti fenomena dan budaya generasi Z seperti You Only Live Once (YOLO) dan Fear of Missing Out (FOMO) yang membuat mereka menempuh jalan pendek untuk memenuhi keinginannya.
"Untuk memenuhi kebutuhannya, untuk FOMO dan YOLO, tapi tidak financially literate. Jadi mending orang yang tidak punya akses terhadap digital dan mereka tidak tahu karena kemungkinan terekspose itu lebih kecil, kalau anak-anak ini risiko terekspose besar banget," tegas dia.
Tidak jarang, kata dia, fenomena ini akhirnya berujung pada banyak anak-anak yang terjerat pinjaman online (pinjol) baik yang legal maupun ilegal, bahkan terjerumus kepada judi online.
"Misalnya cepat banget mendapatkan pinjaman online yang bisa cair 15 menit, itu terus menggulung dan terjerat utang. Ini haus kita sikapi dengan bijaksana, anak-anak muda ini harus dibimbing," demikian Friderica. [F]
KOMENTAR ANDA