Komunitas Endo Segadok di Kapuas Hulu. (Dok. Contentro)
Komunitas Endo Segadok di Kapuas Hulu. (Dok. Contentro)
KOMENTAR

DI bawah rimbunnya pepohonan hutan Kalimantan, perempuan Iban berusaha untuk menggabungkan tradisi dan konservasi melalui tenun. Tenun merupakan bagian dari identitas dan tradisi mereka; Bagian dari ritus peralihan mereka, yang harus mereka lakukan agar dapat diterima sebagai perempuan di komunitas mereka.

Hasil dari tradisi tenun ini adalah kain yang dikenakan oleh anggota keluarga, terutama pasangannya, saat acara adat. Beberapa kain juga memiliki corak dan warna tertentu serta menjalani ritual untuk mendapat status luhur.

Di masa lalu, tradisi tenun terancam akibat pembangunan yang berlebihan dan perubahan prioritas pada masyarakat Iban. Faktor lain seperti eksploitasi lahan dan hutan akibat pertambangan dan perkebunan mengakibatkan hilangnya pepohonan dan tanaman kapas yang menjadi sumber pewarna dan benang kapas.

Berdasarkan data dari The Center for International Forestry Research dan World Agroforestry, antara tahun 2000 dan 2017, terdapat sekitar 59.962 kilometer persegi hilangnya hutan di seluruh Kalimantan.

Jumlah ini akan terus bertambah dari tahun ke tahun, berdasarkan penelitian yang diterbitkan pada tahun 2022, di mana para ilmuwan mengembangkan model matermatika untuk menghitung deforestasi yang menunjukkan bahwa terdapat potensi hutan seluas 74.419 kilometer persegi atau setara dengan 10 juta lapangan sepak bola hilang antara tahun 2018 hingga 2032.

Pada tahun 2018, didorong oleh meningkatnya minat dan permintaan terhadap tenun di kalangan masyarakat Indonesia, generasi muda perempuan Iban, yang dipimpin oleh Margaretha Mala, mencoba menghidupkan kembali praktik tenun dengan memadukan tradisi dan upaya konservasi, seperti halnya mereka menggunakan benang yang berbeda untuk menenun kain.

Mala telah mendirikan dua komunitas: Endo Segadok, yang menampung para penenun berpengalaman, dan Generasi Lestari, yang mendidik perempuan muda Iban tentang menenun. Total ada 58 perempuan yang terlibat dalam komunitas penenun ini.

Mala dan kedua komunitasnya memahami bahwa meningkatnya peminat tenun berarti akan ada saatnya produk tenun mereka berisiko diproduksi secara massal, sehingga mengurangi nilai budaya dan konservasi.

Untuk memastikan tenun tersebut dihasilkan dengan nilai tersebut, masyarakat masih menggunakan pewarna alami yang berasal dari hutannya, sedangkan benangnya merupakan buatan pabrik karena tidak ada lagi tanaman kapas di sekitar komunitas mereka. Mereka juga memastikan bahwa setiap tenun dibuat sesuai dengan adat istiadat mereka dan bahwa pola sakral tertentu, yang memerlukan ritual, tetap menjadi bagian dari budaya mereka dan tidak dijual kepada pelanggan.

Mereka juga menggunakan kata 'mengadopsi' dibandingkan 'membeli' kain tenun, menekankan hubungan unik antara penenun dan orang-orang yang memutuskan untuk mengadopsi produk tersebut. Pendekatan ini menumbuhkan rasa keterhubungan dan tanggung jawab, karena orang yang mengadopsinya akan menjadi penjaga budaya Iban di tahun-tahun mendatang.

Menenun nilai konservasi

Selain proses menenun, Mala dan komunitasnya memberikan akses kepada mereka yang ingin mempelajari lebih lanjut tentang tenun dan tradisi Iban, terutama hubungannya dengan alam. Mereka membuat tur yang dirancang agar masyarakat dapat mempelajari secara komprehensif tentang kain, budaya, lingkungan, dan orang-orang yang menenunnya. Mala percaya bahwa berpartisipasi dalam tur ini memberikan apresiasi yang lebih dalam kepada individu terhadap upaya konservasi masyarakat Iban.

Namun, masyarakat menghadapi keterbatasan tertentu, termasuk dalam menenun dan meningkatkan kesadaran mengenai usaha mereka; itulah sebabnya ada upaya multi-sektoral yang dilakukan oleh sektor lokal, nasional, dan nirlaba untuk meningkatkan visibilitas dan mendorong lebih banyak perempuan Iban untuk menenun.

Upaya ini memberikan ruang bagi masyarakat untuk menampilkan tenunnya di tingkat lokal dan internasional, meningkatkan kesadaran tentang tenun dan upaya yang dilakukan masyarakat.

Hal ini penting karena meskipun tenun telah menjadi tradisi Indonesia, namun ada pasang surutnya; Namun, upaya untuk meningkatkan kesadaran tentang Tenun telah memungkinkan lebih banyak orang mengapresiasi karya seni ini.

Dampak terhadap perekonomian dan kesejahteraan

Dengan menciptakan kegiatan ini, Mala dan komunitasnya juga telah menghasilkan pendapatan alternatif dan memberdayakan perempuan muda Iban untuk menjadikan menenun atau mengatur tur sebagai pekerjaan penuh waktu mereka. Bagi laki-laki Iban, hal ini tidak hanya memberikan mata pencaharian alternatif tetapi juga meningkatkan taraf hidup mereka karena mereka memiliki alternatif selain bekerja di perkebunan.

Untuk memastikan manfaatnya bagi masyarakat, setiap pendapatan akan dibagi antara anggota masyarakat untuk memastikan bahwa semua orang mendapat manfaat dari tenun tersebut. Saat ini, tenun yang diproduksi Mala dan komunitasnya berharga Rp3.000.000 dan bisa mencapai Rp10.000.000 (300 hingga 700 USD).

“Kami berharap upaya dan hasil tenun kami dapat bermanfaat untuk komunitas, baik kami sendiri maupun komunitas lainnya di Indonesia atau di negara lain. Semoga produk budaya yang dihasilkan, terutama batik dan tenun, serta masyarakat yang membuatnya dapat dianggap perlu untuk dijaga keberlanjutannya,” kata Margaretha Mala.

Kisah bagaimana Mala dan masyarakatnya dapat memanfaatkan budaya dan memasukkannya ke dalam upaya konservasi merupakan pembelajaran bagi komunitas lain, terutama komunitas yang dipimpin oleh perempuan yang aktif #BersamaBergerakBerdaya #UntukmuBumiku.

Mengingat laju dan dampak deforestasi di seluruh kawasan, penting bagi semua orang untuk terlibat dalam upaya konservasi yang juga mendukung masyarakat yang paling terkena dampaknya. Terutama ketika mereka memberikan kesempatan untuk mempelajari dan mengadopsi suatu warisan budaya.




Menengok Keindahan Pulau Anambas yang Masih Asri

Sebelumnya

6 Fakta Unik tentang Gunung Rinjani, Kamu Ingin Tahu?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Horizon