SAKIT hati tidak pernah menyenangkan, tetapi kebanyakan orang malah memeliharanya. Bagaimana bisa manusia merawat sesuatu yang membuat batinnya menderita? Ya, karena memang tidak mudah melupakan rasa sakit, apalagi lukanya menusuk hingga ke lubuk hati.
Ajaran Islam jelas tidak membiarkan umatnya menderita bersama rasa sakit yang merajam hati, sehingga diberikan pemahaman mendalam betapa kejadian yang menyakitkan itu merupakan ujian sekaligus kesempatan meningkatkan keteguhan iman. Betapa indahnya tatkala dibentengkan pula kisah-kisah mengharukan para nabi yang merupakan inspirasi bagi umat Islam tentang tata kelola dari rasa sakit.
Sejak usia belia, Nabi Yusuf justru mengalami pengkhianatan dari saudara-saudara hingga dibuang ke dasar sumur. Kesabaran yang menjadi tameng Nabi Yusuf dalam menjalaninya hingga berhasil mencapai kemuliaan.
Beliau tidak merusak diri sendiri dengan rajaman sakit hati, malahan keikhlasan yang menjadikan dirinya kuat. Tatkala orang beriman menghadapi ujian berat, bukannya tenggelam dalam sakit hati, melainkan memasang kesabaran sebagai perisai diri.
Manusia tidak akan benar-benar mampu membereskan semua beban hidupnya sendirian. Ada masanya masalah terasa buntu, solusi seolah tidak tampak lagi ufuknya. Alih-alih berujung sakit hati, lebih baik kita mengedepankan tawakal.
Artinya, kita memang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah atas takdir yang terjadi sekaligus membebaskan diri dari deraan sakit hati. Dengan rasa tawakal kita meyakini bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik.
Nabi Ayub tidak sakit hati meskipun semua harta binasa, sakit berat membuatnya terasing dan istri pun pergi meninggalkannya. Beliau tidak menyalahkan siapa pun, tidak pula menyakiti diri sendiri dengan menenggelamkan diri pada rasa sakit hati. Nabi Ayub bertawakal kepada Allah, dan mampu mempercayai bahwasanya yang terjadi adalah yang terbaik dari Tuhan.
Karena sakit hati yang tidak dikelola dapat berubah menjadi penyakit yang merusak kejiwaan. Ujian hidup itu akan silih berganti datangnya, tergantung kepada masing-masing diri dalam memahaminya.
Dan dalam ajaran Islam, hati merupakan sesuatu yang penting sekali. Nabi Muhammad bersabda, "Ketahuilah, dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, jangan sampai rasa sakit atas kejadian di luar diri justru merusak tatanan di dalam hati itu sendiri.
Betapa Nabi Musa setia memelihara kemurnian hatinya walaupun banyak sekali pembangkangan dari kaumnya yang keras kepala. Beliau menghadapi Qarun yang telah ditolong di masa miskin, tetapi giliran kaya raya malahan menfitnah Nabi Musa. Beliau berhadapan dengan Fir’aun yang tidak merasa cukup menjadi raja bahkan mengaku sebagai Tuhan.
Pada rentetan ujian yang teramat berat, Nabi Musa tidak sakit hati tetapi memohon kepada Allah supaya diberi kekuatan dan kesabaran. Nabi Musa berkomitmen tidak pernah membiarkan hatinya digerogoti kebencian apalagi terbakar api dendam.
Di antara kasih sayang Allah kepada hamba-Nya adalah dengan memberikan ujian-ujian kehidupan. Jangankan ujian yang berat-berat, bahkan kejadian tertusuk duri pun terdapat kebaikan di baliknya. Kejadian pengkhianatan, penghinaan ataupun penindasan, bukan berarti kita merusak diri sendiri dengan terjerumus ke jurang sakit hati.
Kita masih memiliki Allah, sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Setiap hamba pastinya bisa mengandalkan Allah dalam setiap situasi sulit. Hendaknya, topan badai kehidupan justru dijadikan pembuka jalan menuju kedamaian hati. Sikap begini menyelamatkan jiwa kita dari kehancuran dari dalam dan memberikan makna terdalam dari cara mencintai diri sendiri.
Sakit hati merupakan jenis siksaan hati yang mengantarkan orang pada penderitaan. Lucunya, orang yang sakit hati justru berasal dari pilihannya sendiri. Dalam bahasa lain, seseorang malah memutuskan untuk menderita bersama sakit hati yang dirawatnya. Inilah keputusan fatal yang harus dijauhi oleh orang-orang beriman.
Kisah-kisah indah para nabi yang berhasil menghindarkan diri dari sakit hati merupakan bekal berharga bagi kita dalam menyikapi tantangan kehidupan. Dalam kondisi sulit, di saat-saat kritis pun kita dapat memilih untuk berbahagia. Asalkan kondisi buruk eksternal tidak dimasukkan ke dalam hati sehingga tidak pula menjadi sesuatu yang merusak hati.
KOMENTAR ANDA