JARINGAN Alumni Taiwan di Indonesia, Kantor Dagang dan Ekonomi Taipei di Jakarta (TETO) bekerjasama dengan Center for Business and Diplomatic Studies (CBDS) – Universitas Bina Nusantara (Binus) menyelenggarakan diskusi dengan tema Flashpoint Formosa: Navigating the Ripple Effects of Cross-Strait Tensions on Southeast Asia’s Security, Technology, and Agriculture pada Kamis (5/9). Pertemuan ini dihadiri oleh alumni Taiwan di Indonesia dan tamu undangan dari Habibie Center dan Binus. Diskusi dibuka oleh Mr. Steve Chen sebagai Wakil Kepala Kantor Dagang dan Ekonomi Taipei di Indonesia.
Dalam kesempatan ini, Mr. Steve Chen menjelaskan bahwa sudah banyak Kerjasama yang terjalin antara Indonesia dan Taiwan khususnya dalam bidang pendidikan, ketengakerjaan, pertanian, dan teknologi.
Terkhusus dalam bidang teknologi Mr. Steve Chen menekankan bahwa Taiwan termasuk salah satu negara yang diperhitungkan di dunia karena kesuksesan mereka dalam mempertahankan diri sebagai produsen chips terbesar di dunia. Dunia membutuhkan Taiwan karena kebutuhan 90% chips di dunia di produksi di Taiwan.
Apabila Tiongkok menginvasi Taiwan, diperkirakan dampak globalnya akan melebihi 10 triliun dolar AS atau sekitar 10% dari produk domestik bruto global. Hal ini tentunya akan menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar.
Lebih lanjut, Direktur TETO, Mr. William W.L Hsu menambahkan bahwa dari berbagai kerjasama yang terjalin antara Indonesia dan Taiwan tersebut 28 diantaranya telah memiliki MOU (memorandum of understanding) di level g to g (government to government). Diharapkan, melalui MOU ini dapat mempererat kerjasama antara Indonesia dengan Taiwan.
Diskusi ini menghadirkan DR. Teuku Rezasyah, dosen di Universitas Padjadjaran, Bandung; DR. Erry Dwi Kurniawan, Peneliti BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) sekaligus alumni Taiwan, dan Effendi Andoko selaku Sekretaris Jendral HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) yang juga alumni Taiwan.
DR. Teuku Rezasyah membuka diskusi dengan memaparkan dampak cross-strait relation terhadap ASEAN, khususnya Indonesia. Salah satu hal penting yang ditekankan oleh DR.Teuku Rezasyah yaitu bahwa Taiwan merupakan negara di mana warga negara Indonesia banyak berdomisili di sana.
Tidak kurang sebanyak 300.000 WNI tinggal di Taiwan baik sebagai pelajar ataupun pekerja migran. Keberadaan mereka ini tentunya akan memberikan pengaruh tersendiri bagi bangsa Indonesia apabila terjadi gejolak cross-strait relation.
Oleh karena itu, DR. Teuku Rezasyah menekankan pentingnya penyelesaian masalah cross-strait relation dilakukan melalui musyawarah secara damai antara Tiongkok dan Taiwan.
Selain itu, menurut DR.Teuku Rezasyah, negara-negara ASEAN yang merupakan sumber pekerja migran terbesar seperti Indonesia, Vietnam, dan Thailand perlu membuat MOU bersama dengan Taiwan dalam menetapkan kriteria dan standar pekerja. Hal ini penting, karena ketergantungan tenaga kerja antara Taiwan dan ASEAN akan terus meningkat setiap tahunnya.
DR.Erry Dwi Kurniawan dari BRIN, menyikapi permasalahan cross-strait relation dari perspektif teknologi. Bahwa tidak terelakkan lagi Taiwan memeliki posisi central dan strategis dalam perang teknologi yang terjadi antara Tiongkok dan Amerika Serikat.
Sebagai penghasil chips terbesar di dunia, kehadiran Taiwan sangat diperhitungkan dalam global semiconductor value chain. Indonesia sendiri saat ini sedang mengembangkan industri semi konduktor dan membutuhkan banyak dukungan dari berbagai pihak, termasuk Taiwan.
Dukungan utama ada pada pengembangan sumber daya manusia di mana Indonesia masih kalah dibandingkan dengan negara-negara lain di Kawasan ASEAN. Jumlah insinyur di Indonesia diperhitungkan sebanyak 5.300 orang per 1 juta penduduk, sedangkan di Vietnam mencapai 9.000 orang per 1 juta penduduk, dan Malaysia sebanyak 12.000 orang per 1 juta penduduk.
Di sektor pertanian, kerja sama Indonesia dan Taiwan sudah terjalin semenjak 46 tahun yang lalu. Hal ini diungkapkan oleh Effendi Andoko, Sekjen HKTI. Pengalamannya selama studi dan mengajar di Taiwan memperlihatkan banyak kemajuan teknologi di bidang pertanian yang dapat diadopsi Indonesia.
Salah satunya yaitu pesawat nirawak (drone) yang dapat mendeteksi pohon sawit yang sakit dari jutaan hektar lahan sawit. Teknologi yang belum ada di Indonesia dan tentunya akan sangat membantu petani sawit.
Selain itu, potensi kerja sama Indonesia dan Taiwan bukan hanya dalam hal transfer teknologi, namun juga dalam kerjasama ekspor-impor yang pada akhirnya memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Mr. William W.L. Hsu menambahkan bahwa kerja sama tidak hanya pada bidang teknologi, ketenagakerjaan dan pertanian.
Ada banyak potensi kerja sama yang diharapkan selain mempererat hubungan Indonesia dan Taiwan namun juga membuka ribuan bahkan jutaan lapangan pekerjaan di Indonesia.
Diskusi ini ditutup dengan sesi tanya jawab dan apresiasi dari peserta atas diadakannya pertemuan ini. Diharapkan ke depannya akan lebih banyak lagi diskusi sejenis yang semakin membuka peluang kerja sama antara Indonesia dan Taiwan dan di sisi lain memaksimalkan potensi alumni Taiwan yang sudah kembali ke Tanah Air.
Bahkan bukan hanya untuk diskusi dan pengembangan jejaring alumni Taiwan, namun juga diharapkan 28 MOU yang telah disepakati dapat diperkuat melalui aksi tindak lanjut yang lebih nyata.
KOMENTAR ANDA