Delegasi Indonesia berkumpul bersama delegasi lain di Forum Tingkat Menteri Perempuan The Empowerment of Women’s Working Group (EWWG) G20 di Brasil (12/10). (Dok. Kemen PPPA)
Delegasi Indonesia berkumpul bersama delegasi lain di Forum Tingkat Menteri Perempuan The Empowerment of Women’s Working Group (EWWG) G20 di Brasil (12/10). (Dok. Kemen PPPA)
KOMENTAR

FORUM Tingkat Menteri Perempuan The Empowerment of Women’s Working Group (EWWG) G20 memberikan apresiasi kepada Indonesia yang telah melakukan aksi nyata atas komitmen global.

Indonesia dianggap menjadi satu dari sedikit negara G20 yang telah menerjemahkan komitmen dan kesepakatan global ke dalam kebijakan nasional, utamanya untuk isu ekonomi perawatan, penurunan angka kekerasan terhadap perempuan dan aksi gender dalam perubahan iklim.

“Dua tahun setelah ekonomi perawatan dijadikan sebagai isu global melalui G20 Ministerial Conference on Women Empowerment 2022 di Bali, Indonesia telah menerbitkan UU Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (HPK). Keberadaan UU ini menjadi jaminan untuk pemenuhan dan perlindungan hak-hak ibu dan anak, khususnya pada masa keemasan (golden age), yaitu pada fase 1000 HPK,” jelas Plt. Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kemen PPPA, Rini Handayani di Forum Tingkat Menteri.

”Tidak hanya itu, UU Nomor 4 Tahun 2024 juga Benjamin Kesempatan partisipasi atas dunia kerja bagi perempuan yang memiliki anak sampai berusia dua tahun selama fase 1000 HPK tersebut,” imbuhnya.

Pada kesempatan itu juga, Rini menyampaikan, ekonomi perawatan telah terintegrasi dan menjadi prioritas kebijakan nasional pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.

Lebih lanjut, Rini menyebutkan, Indonesia juga telah menerbitkan Peta Jalan Ekonomi Perawatan yang merupakan panduan bagi Lembaga pemerintah dan Masyarakat untuk mengimplementasikan agenda ekonomi perawatan yang telah ditetapkan.

“RPJPN 2025-2045 menargetkan bahwa pada 2045, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Perempuan harus sudah di angka 70%. Saat ini, TPAK Perempuan baru mencapai skor 54%, sangat jauh tertinggal dari TPAK laki-laki yang sudah lebih dari 80%,” papar Rini.

Kekerasan terhadap Perempuan juga menjadi hal yang menjadi perhatian Pemerintah. Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 menunjukan, kekerasan terhadap perempuan usia 15-64 tahun menurun dari 9,4% pada 2016 menjadi 6,6% di 2024.

“SPHPN merupakan survei yang dilakukan untuk mendapatkan data prevalensi kekerasan terhadap perempuan, baik di wilayah perkotaan dan pedesaan sehingga intervensi yang dilakukan adalah berbasis bukti yang diharapkan nantinya dapat secara efektif menekan angka kekerasan yang ada serta membuka dan mempermudah beragam jalur pelaporan kekerasan terhadap perempuan,” jelas Rini.

Terkait dengan penguatan kontribusi perempuan dalam aksi iklim, Rini menyebutkan, Pemerintah Indonesia telah menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Gender dan Perubahan Iklim. Hal ini tentunya akan semakin menguatkan peran perempuan dalam kebijakan dan program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang ada. 

“RAN Gender dan Perubahan Iklim saat ini menjadi dokumen rujukan seluruh K/L dalam menciptakan program inovatif responsif gender untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” kata Rini. 

Ibu Negara Brazil, Rosângela Lula da Silva yang hadir dalam pembukaan Pertemuan Tingkat Menteri menyampaikan bahwa ekonomi perawatan, kekerasan terhadap perempuan, dan perempuan dalam aksi iklim saat ini merupakan tantangan besar perempuan di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan ketiga isu ini sangat terkait dan sangat berdampak kepada perempuan.

“Bahkan kalau kita bicara kekerasan misalnya, saat ini tidak hanya terjadi kekerasan fisik maupun mental, tetapi juga kekerasan politik terhadap perempuan. Ketiga masalah ini harus kita selesaikan bersama. Forum ini harus dapat memberikan kontribusi nyata dalam menciptakan upaya kolektif global bagi pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan di isu ini,” tegas Angela.

Forum Tingkat Menteri yang diselenggarakan di Kantor Pusat Data dan Teknologi SERPRO mengadopsi Chair Statement yang merupakan dokumen kesepakatan seluruh negara G20 yang hadir.

Tercatat beberapa hal penting yang menjadi isi dari dokumen ini termasuk isu ekonomi perawatan, kekerasan terhadap perempuan, perempuan dalam perubahan iklim, kesenjangan upah, dan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang responsif gender.

Forum ini menghasilkan dokumen chair’s statement setelah sebelumnya menargetkan ministerial declaration. Perubahan outcome document dari semula ditargetkan ministerial declaration menjadi chair’s statement terjadi dikarenakan negosiasi tidak dapat mencapai konsensus. Beberapa negara berkeberatan atas beberapa isu dan istilah yang digunakan dalam dokumen dan menarik diri dari konsensus.




Menteri HAM Natalius Pigai Terima Penghargaan "Tokoh Nasional Demokratis dan Berintegritas” dari JMSI

Sebelumnya

Konsultasi Publik “Rekomendasi Kebijakan Pembangunan Media Massa yang Bertanggung Jawab, Edukatif, Jujur, Objektif, dan Sehat Industri (BEJO’S)": Tantangan Menyelaraskan Idealisme dan Keberlanjutan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News