Ilustrasi ibu dan anak perempuannya. (Freepik)
Ilustrasi ibu dan anak perempuannya. (Freepik)
KOMENTAR

KETIKA memulai hidup berkeluarga, banyak perempuan berpikir siap menjadi ibu yang luar biasa. Secara pribadi, kita merasa sebagai sosok yang hangat, lucu, dan penuh perhatian. Kita yakin bahwa secara naluriah dan intuitif kita akan tahu apa dan bagaimana melakukan sesuatu. Termasuk menyeimbangkan kehidupan rumah tangga dan karier.

Nyatanya, banyak dari kita merasa tidak hanya merasa menjadi seorang ibu melelahkan secara fisik, tetapi juga merupakan roller coaster emosional. Kita bisa merasakan perasaan yang belum pernah dialami sebelumnya.

Pada hari-hari yang buruk, kita bisa merasa putus asa, kesal, terhina, dan bersalah, tetapi pada hari-hari yang baik, kita bisa merasakan cinta yang tulus, kegembiraan, kemenangan, dan kebanggaan.

Tidak sedikit dari kita dikalahkan oleh hari-hari yang buruk, dan membuat kita merasa tidak melakukan apa pun dengan benar. Banyak perempuan memilih untuk meninggalkan karier setelah memiliki dua atau tiga anak.

Berakhirnya karier penuh waktu belasan hingga 20-an tahun tidak berarti berakhirnya naik turunnya emosi. Meninggalkan pekerjaan yang sukses, berarti meninggalkan hari-hari yang membuat kita merasa cerdas, berprestasi, dan terlibat secara intelektual. Sedangkan di rumah, kita ’hanya’ berhadapan dengan tiga anak kecil yang terkadang menantang namun sering kali merasa benar-benar lelah dan kewalahan.

Dari beberapa kajian parenting, banyak dari kita akhirnya menyadari perlunya mempelajari pendekatan baru—termasuk strategi baru—dalam pengasuhan anak.

Yang terpenting adalah kita memiliki mindset bahwa “dibutuhkan kerja keras, pelatihan, dan banyak kesalahan untuk menemukan sosok orang tua dalam diri kita yang terasa nyaman, tenang, tulus, dan sejati”.

Maka hal pertama yang harus kita pastikan adalah harapan kita.

Dikutip dari The Parenting Partnership, apa yang sering kali mendorong respons reaktif kita terhadap perilaku anak-anak kita? Jika mau jujur, biasanya adalah harapan yang tidak (atau kurang) realistis.

Mungkin masa kecil kita atau cerita yang kita ceritakan kepada diri sendiri tentang calon orang tua yang membuat kita berharap anak 'harus' bersikap, melakukan, atau merespons dengan cara tertentu. Ketika anak tidak memenuhi harapan kita, respons kita biasanya didorong oleh perasaan dan ketakutan yang terpendam. Di antara harapan dan kenyataan terdapat kekecewaan.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah bernapas, lalu tanyakan kepada diri sendiri apakah harapan kita realistis. Misalnya, apakah masuk akal untuk mengharapkan anak yang intens, gigih, dan sensitif untuk menjalani hari dengan mudah, beralih di antara berbagai aktivitas tanpa melawan, mempertahankan pendiriannya, atau kelelahannya yang terlihat dalam perilakunya? Mungkin tidak.

Karena kita telah meluangkan waktu untuk memperhatikan bagaimana anak-anak kita yang unik mengalami dunia, memikirkan tahap perkembangan mereka, dan memeriksa kembali harapan-harapan kita, maka kita dapat dengan tenang meluangkan waktu untuk mengatur segala sesuatunya sehingga anak-anak lebih merasa diperhatikan, ditenangkan, dan pengasuhan kita berpotensi berhasil.




Mengajarkan Anak Usia SD Mengelola Emosi, Ini Caranya

Sebelumnya

Jadikan Anak Cerdas Berinternet Agar Tak Mudah Tertipu Hoaks

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Parenting