Diskusi ‘Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dan Anak’ di Hall Dewan Pers, Jakarta (29/10). (Dewan Pers)
Diskusi ‘Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dan Anak’ di Hall Dewan Pers, Jakarta (29/10). (Dewan Pers)
KOMENTAR

TINGGINYA angka kekerasan seksual di tengah masyarakat berbanding lurus dengan banyaknya pemberitaan terkait kekerasan seksual di media massa. Namun demikian, bisa dikatakan hampir tidak ada masyarakat yang melaporkan pemberitaan kekerasan seksual.

“Bisa dikatakan, nyaris tidak ada masyarakat yang melaporkaan atau keberatan atas pemberitaan kekerasan seksual. Selama saya hampir tiga tahun di Dewan Pers, hanya ada satu kali laporan keberatan atas pemberitaan kekerasan seksual,” kata Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu saat membuka diskusi ‘Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dan Anak’ di Hall Dewan Pers, Jakarta, Selasa (29/10).

Ditambahkan Ninik, Undang-Undang Kekerasan Seksual sudah ada, tetapi peraturan pers terkait kekerasan seksual justru belum ada. Bahkan beberapa jurnalis seperti hendak menyembunyikan dan mungkin beranggapan tidak perlu aturan tersebut.

Ninik berharap peraturan atau pedoman pemberitaan yang terkait dengan kekerasan seksual dan anak yang sedang disusun Dewan Pers nantinya bisa diratifikasi oleh perusahaan pers. Selanjutnya, konstituen atau perusahaan pers bisa membuat panduan pemberitaaan kekerasan seksual di media masing-masing.

Anggota Dewan Pers Atmaji Sapto Anggoro memaparkan data survei yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yaitu sepanjang 2023, ada 29.883 kasus kekerasan seksual di Tanah Air. Dari angka itu, sebanyak 26.161 dialami oleh perempuan. Sisanya sebanyak 6.332 korban adalah laki-laki. Dalam satu kasus kekerasan seksual, korban bisa lebih dari satu orang.

Menurut Sapto yang juga ketua Penelitian, Pendataan, Ratifikasi Perusahaan Pers, persepsi media massa terhadap kasus kekerasan seksual masih beragam. Tidak semua media massa punya kesadaran akan arti penting pemberitaan kekerasan seksual dan anak.

Ia mewanti-wanti supaya pasal 5 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) benar-benar menjadi panduan wartawan dalam memberitakan kekerasan seksual.

“Identitas korban kekerasan seksual harus dihindari. Demikian juga, identitas anak pelaku kekerasan seksual juga tidak perlu diberitakan,” tegasnya.

Sedangkan anggota Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor mengingatkan perlunya peningkatan peran negara dalam masalah ini. Penguatan peran dan tanggung jawab negara harus lebih besar lagi. Hal ini juga harus bisa dirasakan masyarakat.

Selain itu, kata dia, pemenuhan hak korban juga perlu menjadi perhatian serius dari pemerintah. Keadilan yang bersifat transformatif dan membawa perubahan besar bagi pelaku dan korban harus terus diupayakan.

Sementara itu, pembicara yang juga pemimpin redaksi Konde dan aktivis perempuan, Luviana Ariyanti, menjelaskan setiap 55 menit terjadi kekerasan seksual di Indonesia. Namun disayangkan, pemberitaan di media terkait peristiwa kekerasan seksual yang mayoritas korbannya adalah perempuan dan anak masih banyak yang memuat kalimat berlebihan bahkan menyudutkan korban.

“Perlu panduan yang amat rinci untuk menjadi pegangan wartawan dalam memberitakan kasus kekerasan seksual. Ini penting dan kami sudah menunggu delapan tahun lebih,” kata Luviana.




Kementerian Agama Luncurkan Program “Baper Bahagia” untuk Dukung Ketahanan Pangan Masyarakat Desa

Sebelumnya

Fitur Akses Cepat Kontak Darurat KDRT Hadir di SATUSEHAT Mobile

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News