PERISTIWA kemanusiaan. Menurut budayawan Jaya Suprana itulah istilah yang lebih tepat digunakan untuk resital pianis tunanetra Ade “Wonder” Irawan yang digelar di Jaya Suprana Institute (JSI) di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu sore, 20 November 2024.
“Hari ini kita semua akan menyaksikan peristiwa yang lebih tinggi dari sekadar peristiwa kebudayaan dan peradaban. Yang akan kita saksikan ini adalah peristiwa kemanusiaan yang seharusnya merupakan esensi dari apa pun yang kita lakukan,” ujar Jaya Suprana saat membuka resital.
Ade “Wonder” Irawan adalah putra dari pasangan Irawan Subagio dan Endang Mardeyani. Lahir 15 Januari 1994 di Colchester, Inggris, Ade mengasah kemampuannya bermain piano secara autodidak sejak usia dini.
Saat menetap di Chicago — sang ibu adalah seorang diplomat — Ade mendapat kesempatan yang begitu luas untuk mengasah talentanya.
Di usia 12 tahun ia sudah tampil secara reguler di Jazz Links Jam Session di Chicago Cultural Center. Ade pernah tampil bersama sejumlah pemain jazz dan blues papan atas Amerika Serikat, seperti Coco Elysses-Hevia, Robert Irving III, Peter Saxe, Ramsey Lewis, John Faddis, Dick Hyman, Ernie Adams, dan Ryan Cohen.
Dalam pengantarnya, Jaya Suprana mengatakan, dirinya lah yang memberikan kata “Wonder” di tengah nama Ade Irawan. Kata itu disematkannya karena ia takjub akan kemampuan Ade Irawan.
“Seperti Stevie Wonder (penyanyi tunanetra dari Amerika Serikat), hanya lebih hebat lagi,” ujar Jaya Suprana.
Menurut penilaian Jaya Suprana, kemampuan Ade memainkan tuts piano tidak hanya luar biasa, tetapi sudah dapat digolongkan sebagai sebuah keajaiban.
Dalam resital piano kali ini, Jaya Suprana meminta Ade “Wonder” Irawan membawakan lagu “Satu Nusa, Satu Bangsa” karya Liberty Manik dengan berbagai genre. Mulai dari jazz, blues, sampai keroncong dan dangdut.
Lagu “Satu Nusa, Satu Bangsa” dipilih Jaya Suprana karena syairnya yang agung. Jaya mengatakan, lagu yang terinspirasi peristiwa Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 itu sempat menjadi kandidat lagu kebangsaan Indonesia.
Namun akhirnya pilihan jatuh ke lagu “Indonesia Raya” yang nadanya lebih dinamis dan bergelora. Lagu “Satu Nusa, Satu Bangsa” tidak dipilih sebagai lagu kebangsaan karena dianggap terlalu bernuansa hymne yang datar dan lembut.
Seperti biasa, penampilan Ade begitu menghibur dan memukau. Gaya panggungnya yang atraktif termasuk jari jemarinya yang menari di atas tuts piano mengundang gelombang tepuk tangan berkali-kali.
Sebelum resital piano yang dibawakan Ade “Wonder” Irawan, kegiatan diawali dengan penyerahan sertifikat rekor MURI untuk perkumpulan penulis Satupena atas buku bertema politik dengan penulis terbanyak yang lebih dari 200 penulis dengan berbagai genre. Sertifikat MURI diserahkan Jaya Suprana kepada Sekjen Satupena Satrio Arismunandar.
Setelah itu, Jaya Suprana juga menyerahkan sertifikat MURI kepada wartawan senior Nasir Tamara yang merupakan wartawan pertama dari Indonesia yang meliput langsung Revolusi Iran. Nasir Tamara ikut dalam penerbangan yang membawa pemimpin revolusi Ayatullah Imam Khomeini dari Paris ke Teheran pada 1 Februari 1979.
KOMENTAR ANDA