SAAT ini terdapat berbagai jenis diet yang populer dan banyak dicoba. Ada diet yang mengatur waktu makan, ada yang berbasis sayuran dan buah tanpa konsumsi daging, ada yang membatasi asupan lemak, dan ada yang fleksibel mengatur komposisi nutrisi. Lalu, yang mana diet terbaik untuk kita?
Khoirul Anwar SGz, Msi, Ketua Yayasan Makanan dan Minuman Indonesia (YAMMI), mengungkapkan bahwa pemahaman soal diet perlu diluruskan terlebih dahulu. “Orang berpikir bahwa diet berarti mengurangi berat badan. Padahal, sebenarnya diet berarti mengatur pola makan. Secara ilmiah, pola makan yang baik itu yang menerapkan gizi seimbang, seperti yang diusung SELARAS.”
Belum lama ini Eathink merilis panduan makan sehat dan berkelanjutan yang disebut SELARAS (Seimbang, Lokal, Alami, Beragam, dan Sadar). “Seimbang dalam hal komposisi zat gizi, menggunakan bahan pangan lokal, meminimalkan zat kimia dalam bahan pangan, mengedepankan keragaman bahan pangan dalam satu piring, dan menerapkan mindful eating,” kata Jaqualine Wijaya, CEO dan Co-founder Eathink.
Tak perlu dibuat rumit, pola makan sehat dan juga ramah lingkungan bisa diadopsi dengan mudah tanpa harus mengeluarkan banyak uang.
Orang muda peduli kesehatan
Apa yang ada di benak Anda, ketika mendengar istilah makan sehat? Mungkin berbagai pantangan dan keharusan bermain-main dalam kita.
Dalam pikiran orang muda, makanan sehat sering kali dipersepsikan dengan sayur, dan sayur itu tidak enak, dan mereka tidak suka sayur. Begitulah yang dibaca Jaqualine dalam sebuah jurnal. Hal ini memperlihatkan bahwa persepsi soal makan sehat belum tentu sama pada setiap orang.
Di sisi lain Eathink pernah melakukan survei terhadap orang muda tentang gaya hidup berkelanjutan. Misalnya, tentang pilihan makanan yang lebih sehat. “Jika ditelusuri, masalahnya lebih pada sistem. Ketika akan memulai kebiasaan sehat yang baru, ada pengaruh dari banyak faktor, misalnya preferensi, lingkungan, dan sistem. Contohnya, di rumah ada orang yang punya pengaruh lebih besar. Orang tua, misalnya, hobi makan gorengan.”
Sementara itu, dari riset soal pilihan makanan yang dikutip oleh Khoirul, kesadaran Gen Z terhadap kesehatan terbilang tinggi. Mereka lebih memilih makanan yang sehat dan ramah lingkungan. “Tapi, dalam eksekusinya tidak selalu terjadi. Secara sikap mereka memilih makanan yang punya dampak positif terhadap lingkungan. Beberapa sudah melakukannya, beberapa lainnya belum,” kata Khoirul.
Yang menjadi concern Khoirul, ketika orang sudah memilih healthy food, tapi konsumsinya tidak optimal, ujungnya malah membuang-buang zat gizi. “Misalnya, porsi protein di piringnya sudah sesuai dengan kebutuhan, tapi hanya dikonsumsi setengah saja, hingga akhirnya menjadi food waste. Hal ini perlu dicegah agar tidak sampai terjadi. Zat gizi yang sudah tersedia malah terbuang sia-sia,” kata Khoirul.
Tak harus puasa makanan viral
Berkat media sosial, suatu jenis makanan atau minuman baru gampang sekali jadi viral. Karena tampilannya menggoda dan antreannya panjang, tidak aneh kalau kita jadi ingin ikut membeli. Anda termasuk gemar berburu makanan atau minuman yang sedang viral? Ternyata, kesadaran akan makan sehat bukan berarti tidak boleh menjajal makanan viral, lho.
“Keinginan untuk mencoba makanan baru tidak masalah, kok. Dengan begitu, kita jadi tahu dan tidak penasaran. Positifnya, setelah mencoba, kita jadi tidak menyalahkan makanan apa pun. Kita cenderung menyalahkan, karena tidak tahu. Tapi, ada negatifnya juga, kalau mencobanya terlalu banyak dan jadi kebablasan,” kata Khoirul, yang juga merupakan dosen Program Studi Gizi, Fakultas Teknologi Pangan dan Kesehatan, Universitas Sahid Jakarta.
Ia justru menyarankan agar kita menyusun jadwal khusus untuk mencicip makanan baru, misalnya satu atau dua kali dalam satu minggu. Tujuannya untuk sekadar mengetahui. Jika sudah melihat dan mencicipi, kita bisa mengidentifikasi plus dan minus dari makanan tersebut, sehingga kemudian bisa memutuskan apakah makanan tersebut baik bagi tubuh.
Jaqualine menyebutkan, “Tidak ada makanan yang benar-benar salah, kecuali dikonsumsi berlebihan. Karena itu, kita perlu kembali ke konsep Seimbang dalam panduan SELARAS.” Artinya, kalau siang tadi sudah mengonsumsi makanan viral sarat gula, sore hari sebaiknya tidak lagi ngemil makanan yang bergula juga.
Sejalan dengan Jaqualine, Khoirul menjelaskan, aspek Seimbang itu memang sangat penting, sehingga menjadi acuan pertama. “Tidak ada ada satu jenis makanan pun yang bisa memenuhi semua kebutuhan gizi kita.”
Pilih makanan dari sekitar kita
Karena kita banyak membaca rekomendasi bahan makanan dari sumber informasi luar negeri, maka pangan bergizi tinggi yang kita ketahui antara lain salmon dan whole grain. “Padahal, whole grain tidak menjadi produk utama di Indonesia. Kita juga bukan penghasil utama ikan salmon. tapi kita kaya akan banyak jenis ikan di Indonesia selain salmon,” kata Khoirul.
Ia menjelaskan, ketika berbicara soal kacang-kacangan, orang akan berpikir tentang almond. Sementara itu, kacang hijau yang harganya murah mempunyai nilai gizi yang tinggi. “Hanya saja, orang memilih almond karena lebih bergengsi. Bahan pangan pengganti yang setara itu banyak. Masalahnya, ketika orang tidak terpapar terhadap bahan tersebut, maka dia tidak tahu bahwa makanan itu ada.
Seto Nurseto, finalis Masterchef Indonesia dan Dosen Antropologi Universitas Padjadjaran, menjelaskan, makan merupakan bentuk adaptasi manusia untuk bertahan hidup, yang berpengaruh terhadap kebiasaan makan di setiap daerah di Indonesia. Ia mencontohkan, konsumsi ayam pada masyarakat di kepulauan akan lebih sedikit daripada konsumsi hasil laut. Dan, setiap daerah akan mengembangkan makanan dari komoditas lokal mereka.
“Tradisi dan kepercayaan juga memengaruhi apa yang boleh dan tidak boleh dimakan oleh suatu kelompok masyarakat. Misalnya, satu daerah melarang konsumsi sidat, karena mereka beranggapan bahwa sidat merupakan kerabat jauh mereka. Ada juga yang menganggap sidat adalah hewan keramat yang hidup di mata air, sehingga harus dijaga dengan baik. Padahal, sidat mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi,” kata Seto, yang secara khusus mengajar bidang kajian makanan dan kebudayaan.
Bicara soal pangan lokal, Khoirul menerangkan, kelokalan itu bisa berdasarkan komoditas setempat. Sebutlah, daerah Bogor punya kacang bogor. Hal tersebut menjadi nilai positif, karena masyarakat Bogor memanfaatkan potensi pangan di daerahnya. “Kelokalan juga terkait budaya, yaitu dalam bentuk makanan khas. Inilah yang biasanya dimaksimalkan oleh setiap daerah.
Processed food tak selalu salah
Seto menyebutkan, setiap kelompok masyarakat mempunyai cara sendiri dalam mengolah makanan sesuai pengetahuan dan teknologi yang mereka miliki. Dalam konteks budaya, itulah proses terbaik di daerah tersebut. Contohnya, dari sumber daya yang berlimpah, masyarakatnya akan membuat olahan untuk menambah usia penyimpanan makanan.
KOMENTAR ANDA