MENYIKAPI UU No 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, pemerintah berkewajiban membantu para pelukis meningkatkan kemampuan manajerial mereka terutama di bidang marketing. Hal ini karena dewasa ini tatanan persaingan global dan pasar seni rupa sudah mengalami banyak pergeseran dibanding pola pasar tradisional.
Hal itu diungkapkan budayawan Wina Armada Sukardi, di depan peserta dan pengunjung pameran lukisan "Harmoni Merah Putih Nusantara" yang diselenggarakan Asosiasi Perupa Nusantara (ASPEN) di Gedung Imperium, Jakarta (10/12). Pameran yang menghadirkan 57 karya dari 56 pelukis Indonesia itu dibuka secara resmi oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon.
Dijelaskan Wina Armada, UU Pemajuan Kebudayaan mengamanatkan pemerintah ntuk meletakan seni Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia. “Artinya menjadi kewajiban pemerintah untuk mengangkat kemampuan pelukis dalam persaingan internasional,” kata penyair dan novelis ini.
Menurut Wina yang juga dikenal sebagai kolektor lukisan sekaligus kritikus film, para seniman Indonesia, terutama pelukis, tidak hanya perlu menguasai teknis berkarya, tetapi juga sudah saatnya mengetahui prinsip dan mekanisme marketing modern. Dengan begitu, tambah Wina, para pelukis dapat memperoleh pasar yang lebih luas.
Wina Armada mengingatkan, sesuai dengan UU Pemajuan Kebudayaan, pemerintah harus menerapkan empat asas dalam pemajuan kebudayaan, yakni pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Dalam konteks ini, para pelukis harus diberikan perlindungan dan pembinaan. “Tugas negaralah membuka peluang pelukis sampai ke taraf internasional,” kata Wina.
Dalam konteks ini pulalah Wina Armada melihat sudah sewajarnya negara memberikan bantuan kesejahtraan kepada para pelukis. Wina memberi contoh, di negara tetangga ada sastrawan negara. Artinya sastrawan tertentu tersebut digaji oleh negara.
Di Indonesia pada era Soekarno, walaupun belum ada pelukis negara, tetapi sudah ada pelukis istana yang karya-karyanya dibeli presiden dan menjadi koleksi istana. “Dengan begitu pelukisnya dapat terjamin dan karyanya lebih dikenal,” ujar Wina.
Lewat latar belakang itu Wina mengusulkan sudah saatnya negara juga memgangkat pelukis-pelukis negara. “Kriterianya bagaimana terserah kepada kesepakatan pelukis saja,” katanya.
Wina mengungkapkan jangan sampai terjadi seperti saat ini. Ketika masa tua apalagi sakit, para pelukis umumnya mengalami kesulitan ekonomi. “Banyak yang meninggal dalam kesengsaraan,” ungkap Wina.
Langkah awal yang diperlukan, menurut Wina Armada, organisasi-organisasi pelukis harus bekerja sama dengan pemerintah membuat database pelukis Indonesia, termasuk biodata dan portofolio. Dalam data ini juga bisa dilihat siapa saja yang sudah mengulas karyanya. Setelah itu, bisa ditingkatkan dengan pengelompokan berdasarkan parameter tertentu. “Sehingga harga karya pelukis yang kurang berkualitas dengan harga pelukis yang sangat berkualitas dapat langsung dibedakan.”
Menurut penilaian Wina Armada, secara umum kemampuan pelukis Indonesia sangat kuat. Apalagi jika dibandingkan negara-negara ASEAN, karya pelukis Indonesia jauh lebih bagus, namun pelukis kita kurang dikenal.
Hal ini disebabkan kurangnya publikasi dan penjabaran filosofi di balik masing-masing karya pelukis Indonesia. Walhasil pelukis dan karyanya kurang dikenal sehingga sulit diterima pasar internasional. “Padahal itulah antara lain tugas pemerintah,” tegas Wina Armada.
KOMENTAR ANDA