Ilustrasi sendok dan piring di atas piring. (Freepik)
Ilustrasi sendok dan piring di atas piring. (Freepik)
KOMENTAR

MANA ada rumah tangga yang benar-benar terbebas dari konflik, termasuk keluarga Rasulullah saw. Bagi siapa pun yang rajin mengkaji Al-Qur’an, niscaya akan menemukan ayat-ayat yang membahas romantika persoalan Nabi Muhammad dengan istri-istrinya. Hal ini bukan untuk merendahkan sosok beliau, tetapi merupakan untaian hikmah dan pelajaran berharga bagi umatnya. Pernikahan tanpa konflik itu nyaris mustahil, terkecuali mungkin hanya di surga.

Sebuah ungkapan cukup menarik perhatian: hubungan suami istri itu seperti sendok dengan piring. Suara dentang sendok dan piring memang tak dapat dihindari. Ketika makanan melimpah, sendok dan piring jarang beradu atau sesekali saja. Lain ceritanya, saat makanan mulai berkurang, benturan menjadi lebih sering terdengar. Apalagi ketika makanan habis, bisa dibayangkan betapa kerasnya suara dentangan itu.

Tak bisa dipungkiri bahwa faktor ekonomi sering kali menjadi pemicu utama dalam konflik rumah tangga, ya kira-kira seperti sendok yang mengorek piring kosong. Padahal sudah menjadi ketentuan Allah bahwa roda nasib manusia memang berputar, kadang berada di atas, kadang di bawah. Suami istri mestinya memahami bahwa akan ada masa-masa sulit, ketika piring mereka isinya sangat sedikit atau malah kosong melompong.

Fondasi Pernikahan

Kesulitan merupakan bagian dari sunnatullah yang tak bisa dihindari, bahkan keluarga para nabi pun mengalami ujian yang lebih berat. Dalam menghadapi krisis ekonomi, cinta saja sering kali tidak mencukupi. Rasa lapar tidak mempan diobati dengan alunan kata-kata romantis, dan pada akhirnya krisis keuangan sering kali merontokkan batas-batas kesabaran pasangan.

Muncul pertanyaan, apakah yang dapat menjadi fondasi rumah tangga di tengah badai konflik? Jawabannya adalah iman.

Iman adalah fondasi terbaik yang mempertahankan kekuatan hubungan suami istri. Bersama iman, suami istri mempunyai keyakinan bahwa masa-masa sulit hanyalah ujian sementara, dan mempercayai hari-hari yang lebih baik akan datang. Iman pula yang menguatkan tekad pasutri untuk mempertahankan keutuhan perkawinan demi Allah Swt.

Hanya saja, keimanan juga perlu disertai dengan kebijaksanaan. Saat makanan di piring mulai menyusut jumlahnya, itulah waktunya sendok mesti lebih berhati-hati supaya tidak menimbulkan benturan menyakitkan. Proses mengisi kembali piring membutuhkan waktu dan usaha bersama. Apabila piring benar-benar kosong, terus-menerus mengorek hanya akan menimbulkan perasaan sakit yang memerihkan.

Abu Utsman Kharisman pada buku Fiqh Puasa Wajib dan Sunnah (2023: 23) menceritakan:

Nabi masuk rumah dan bertanya, “Apakah engkau memiliki sesuatu untuk dimakan?”

Aisyah berkata, “Tidak.”

Nabi bersabda, “Kalau begitu, aku akan berpuasa.”

Alih-alih krisis ekonomi menyulut konflik suami istri, Rasulullah lebih memilih bersikap bijaksana. Kalau tidak ada ya mau bagaimana lagi? Lebih baik baik menikmati masa krisis dengan berpikir positif. Bahkan lebih dari itu, Nabi Muhammad menjadikannya sebagai ladang ibadah, yakni dengan berpuasa sunnah. Sekadar membaca episode kisah Rasulullah ini memang gampang, tetapi mengamalkannya butuh kekuatan jiwa.  

Bukan Cinta Biasa

Masa-masa krisis itu bukan berarti musnahnya cinta, bahkan akan lain suatu cinta yang luar biasa, yang bukan cinta biasa saja. Karena cinta sejati bukan saja berwujud rasa kasih dan sayang, tetapi yang tak kalah penting adalah tanggung jawab, pengorbanan, dan keikhlasan.

Iman adalah puncak dari cinta, yaitu cinta yang melampaui sekadar perasaan. Tatkala pasutri menikah berdasarkan keimanan pada Allah, niscaya mereka akan saling menguatkan, bukannya saling menyalahkan. Sekalipun badai kehidupan menghantam dengan dahsyat, cinta mereka semakin tumbuh lebih indah lagi.

Komunikasi yang baik sangatlah berharga dalam menghadapi masa-masa sulit. Di mana suami istri hendaknya menjadi lebih saling terbuka, saling mendengarkan, dan saling memberi dukungan. Jangan sampai kesulitan ekonomi justru membuat suami istri saling menjauh dengan alasan tidak mau berkonflik. Malahan, kesulitan itu hendaknya menjadi alasan bagi pasutri semakin erat bergandengan tangan.

Nabi Muhammad senantiasa bersikap bijaksana dan selalu mencurahkan kasih sayang dalam situasi sulit. Beliau merupakan teladan tentang cara menghadapi konflik rumah tangga dengan kepala dingin. Saat menghadapi konflik, jangan lupa untuk kembali kepada Allah, sumber dari segala kekuatan lahir batin. Perkawinan merupakan perjalanan panjang yang penuh onak duri, tetapi terasa mengesankan saat dilalui bersama kekuatan iman.

Hubungan dalam perkawinan umpama sendok dan piring yang sesekali berbenturan. Namun, bersama fondasi iman, benturan itu bisa menghasilkan harmoni yang syahdu. Tatkala piring mulai kosong dan benturan sendok piring semakin sering terdengar, ingatlah untuk bersabar dalam menahan diri.

Sebab, badai pasti berlalu, dan cahaya kebahagiaan akan kembali bersinar. Toh pada akhirnya, pernikahan bukan saja tentang dua insan yang saling mencintai, melainkan juga tentang dua hati yang saling mendekatkan diri kepada Allah.




Kala Aisyah Menyaksikan Air Mata Rasulullah

Sebelumnya

Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir: 5 Agenda Nasional Sebagai Ikhtiar Memajukan Bangsa

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur