TERNYATA air mata bisa menjadi gambaran terindah yang menunjukkan kedalaman samudra cinta. Itulah pemahaman yang diperoleh dari romantisme hubungan Rasulullah dengan Aisyah, yang mana kebersamaan kedua insan dipenuhi dengan episode saling mendukung sehubungan ibadah kepada Allah. Momen-momen indah yang tercipta kedua suami istri menggambarkan bahwa kesucian itu dapat membangun kehangatan hubungan.
Romantisnya hubungan hangat suami istri tidak boleh menghalangi dari waktu bermunajat pada Allah. Bahkan pada level yang penuh keikhlasan, munajat Ilahi juga bagian penting yang menorehkan sejarah cinta suami istri, sekalipun terdapat cucuran air mata.
Faruq Hamadah pada bukunya Shahih Fadhail Al-Qur’an (2024: 243) menceritakan:
Diriwayatkan dari Atha’, dia menuturkan, suatu ketika aku bersama Ubaid bin Umair menemui Aisyah. Ubaid bin Umair lantas berkata kepada Aisyah, “Beri tahu kami tentang sesuatu yang paling menakjubkan yang engkau lihat dari Rasulullah?”
Aisyah terdiam sejenak lalu berkata, “Pada suatu malam, beliau bersabda, ‘Wahai Aisyah, biarkanlah aku semalaman ini beribadah kepada Tuhanku!”
Beliau pun bangkit kemudian bersuci, setelah itu melaksanakan salat. Dalam salat itu beliau terus menangis sampai tubuh beliau basah. Kemudian beliau terus menangis sampai jenggot beliau basah. Kemudian beliau terus menangis sampai membasahi tanah. Dan akhirnya Bilal datang mengumandangkan azan salat.
Aisyah telah menyaksikan kecintaan suaminya yang penuh pengabdian dalam menunaikan salat malam. Sang istri melihat Nabi Muhammad merasakan kedamaian dengan meresapi kekhusyukan. Tidak sia-sia Rasulullah terlebih dulu meminta izin hingga sang istri mengikhlaskan waktu yang sebetulnya bisa dihabiskan bersama. Kejadian ini merupakan mutiara hikmah mengenai hubungan yang saling mencintai, tetapi cinta Ilahi merupakan yang tertinggi dan memberikan daya rekat lebih kuat bagi hubungan pasutri.
Kisah ini menggambarkan keagungan ibadah Rasulullah dan keteladanannya dalam menjaga keintiman dengan istrinya, sekalipun sedang beribadah pada Allah. Kesopanan yang ditunjukkan beliau membuka hati istrinya untuk memahami betapa dalamnya makna cinta. Apabila hati telah tersingkap, maka mudahlah bagi sang istri ikut meresapi episode yang demikian menakjubkan.
Aisyah menjadi saksi mata atas kucuran air mata suaminya. Padahal dialah manusia suci yang telah diampuni dosa-dosanya terdahulu dan begitu pula dosa-dosa yang akan datang. Ini sungguh garansi yang teramat mewah, jadi buat apa beliau menangis?
Air mata Rasulullah sungguh mengalir dengan derasnya, membasahi wajah, hingga jenggotnya. Tangisan Nabi Muhammad saw. terus berlanjut hingga air mata sucinya membasahi lantai. Episode yang demikian mengharu-biru kemudian baru bisa berhenti tatkala terdengar kumandang suara azan Bilal.
Adegan ini menunjukkan betapa mendalamnya ketakwaan dan rasa syukur Nabi Muhammad saw. meskipun beliau telah dijamin ampunan oleh Allah. Rasulullah menangis bukan karena takut akan dosa, tetapi karena kesadaran yang luar biasa mengenai kebesaran Allah, kerendahan hati beliau sebagai hamba-Nya, dan rasa syukur atas segala nikmat yang telah Tuhan limpahkan.
Beliau adalah hamba Tuhan yang menegakkan hablumminallah (hubungan dengan Allah) berdasarkan pondasi mahabatullah (cinta pada Allah). Air matanya bukanlah pertanda kelemahan diri tetapi kekuatan jiwa. Nabi Muhammad mendapatkan cinta di atas cinta. Dan keagungan rasa itu disaksikan untuk diresapi juga oleh istri. Aisyah bukan penonton biasa melainkan bagian dari episode cinta yang demikian agung.
Sehingga Aisyah bukan saja menghargai air mata suaminya tetapi juga menghormati kepribadian yang sederhana tetapi selalu menakjubkan. Emosi mendasar dari Aisyah telah tersentuh, terlebih suami menariknya ke episode cinta Ilahi dengan cara yang lembut. Selain piawai dalam hablumminallah (hubungan dengan Allah), beliau juga menguatkan hablumminannas (hubungan dengan manusia), yakni dengan istri tercinta.
Salat Tahajud yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad merupakan cerminan dari kesungguhan hati seorang hamba menghidupkan malam-malam dengan bermunajat pada Allah. Hanya saja, yang tak kalah mengesankan justru bagaimana beliau tetap menjaga perasaan istrinya, dengan meminta izin sebelum menunaikan salat malam. Sikap ini menggambarkan kasih sayang dan penghargaan terhadap pasangan, dan menjadi teladan bagaimana ibadah kepada Allah bukan berarti mengesampingkan perhatian pada keluarga.
Ketika Aisyah melihat air mata Nabi Muhammad, hatinya tergugah oleh keindahan rasa khusyuk beliau. Hendaknya momen begini menjadi inspirasi bagi setiap keluarga muslim, supaya menjadikan rumah tangga mereka sebagai tempat berseminya cinta kepada Allah. Suami istri bisa bersama-sama menghidupkan malam dengan ibadah, yang dapat menanamkan nilai-nilai spiritual yang mendalam, mengajarkan saling pengertian, dan membawa pada ketenangan.
Air mata Nabi Muhammad bukan saja simbol kelembutan hati, melainkan juga pelajaran bahwa kedekatan pada Allah menghadirkan cinta yang sejati. Bukan saja cinta di antara hamba dan Tuhannya, tapi juga cinta di antara pasangan yang menjadikan Allah sebagai poros kehidupan rumah tangga.
KOMENTAR ANDA