PERANG dalam sejarah Islam, khususnya yang dipimpin oleh Nabi Muhammad, selalu dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan tujuan utama untuk melindungi agama serta umat Islam. Bahkan dalam strategi peperangannya, Rasulullah memilih lokasi yang meminimalkan jatuhnya korban sipil.
Perang Badar misalnya, dipilih di medan yang jauh dari perkotaan Madinah untuk menghindari korban dari masyarakat tak bersalah. Hal ini mencerminkan kebijaksanaan beliau dalam menjaga nilai-nilai kemanusiaan, bahkan di masa perang sekalipun.
Bandingkan dengan perang yang terjadi di Ukraina telah menelan korban puluhan ribu jiwa meninggal dunia, mayoritas dari mereka adalah warga sipil yang tak berdosa. Jika ditelaah lebih jauh, peperangan ini bukanlah sekadar konflik militer biasa, tetapi juga permainan geopolitik global yang melibatkan berbagai kepentingan.
Presiden Ukraina Zelensky tampaknya limbung memahami realitas strategis dari konflik ini. Impian menjadi anggota NATO justru dianggap Rusia sebagai ancaman langsung dengan mengundang musuh di gerbang mereka. Kontan Zelensky memantik respons keras dari Vladimir Putin, yang melihat langkah tersebut sebagai upaya mengepung Rusia dengan kekuatan militer NATO. Sementara, sejarah telah menunjukkan bahwa berperang dengan Rusia bukanlah perkara semudah membalikkan telapak tangan.
Napoleon Bonaparte dan Adolf Hitler, dua pemimpin besar yang pernah menguasai hampir seluruh Eropa, akhirnya hancur lebur ketika mencoba menyerang Rusia. Kenyataannya Rusia memiliki pengalaman panjang dalam menghadapi peperangan dan memiliki sumber daya yang mampu bertahan dalam konflik jangka panjang.
Pada mulanya, Zelensky berhasil mengundang simpati global dan memperoleh dukungan dari negara-negara Eropa dan Amerika. Namun, seiring berjalannya waktu, perang yang tak kunjung usai mulai melelahkan bahkan merugikan banyak pihak, yang menderita bukan rakyat Ukraina saja tetapi juga negara-negara pendukungnya. Ekonomi dunia pun terguncang menjadikan banyak negara mulai mempertanyakan manfaat dari perang berkepanjangan ini. Berbeda dengan perang Palestina dan Zionis Israel yang memiliki akar sejarah dan agama yang kuat, konflik di Ukraina lebih banyak dipandang sebagai perang kepentingan politik dan ekonomi.
Sementara itu, Amerika Serikat, yang sejak awal menjadi pendukung utama Ukraina, juga tidak memberikan bantuan secara cuma-cuma. Ternyata bantuan militer yang dikirimkan harus dibayar dengan harga luar biasa mahal. Donald Trump—seorang pebisnis sekaligus politisi—pasti tidak akan melewatkan kesempatan mengeruk keuntungan besar-besaran.
Kini, Ukraina berada dalam situasi di mana mereka tidak hanya menghadapi Rusia di medan perang, tetapi juga tekanan dari sekutu mereka sendiri yang ingin mendapatkan imbalan atas bantuan yang telah diberikan. Tanpa malu-malu Trump menuntut Tanah Jarang yang merupakan harta karun Ukraina yang mengandung sumber daya mineral yang menakjubkan. Kasarnya, Rusia yang menyerang tetapi Amerika Serikat yang menjajah Ukraina. Secara tidak langsung, Ukraina akhirnya tidak berkutik oleh kendali politik Rusia dan tidak berdaya oleh kendali ekonomi dan politik Amerika Serikat.
Menariknya, perundingan damai yang akan digelar di Arab Saudi tampaknya hanya melibatkan Rusia dan Amerika Serikat, sementara posisi Ukraina justru diabaikan. Ini menimbulkan tanda tanya besar: apakah perang ini benar-benar demi kepentingan Ukraina, atau hanya bagian dari strategi geopolitik global?
Sementara itu, lelucon Zelensky malah berkelit dari keseriusan dalam perundingan damai, yang justru memperpanjang penderitaan rakyatnya sendiri. Tentu saja dunia sudah tahu bahwa Putin yang menyerang Ukraina, tetapi perang ini tidak lagi mungkin dimenangkan. Putin adalah agresor masih jadi bahan kampanye Zelensky tetapi tidak lagi menarik lagi bagi dunia, bahkan negara-negara Eropa telah mengalami guncangan ekonomi hebat gara-gara mendukung Ukraina. Harapan dunia adalah perdamaian, dan melihat fakta di lapangan bahwa Ukraina tak berdaya mempertahankan kehormatan dirinya.
Pada akhirnya, sejarah menunjukkan bahwa setiap perang harus berakhir dengan perundingan. Mempertahankan perang yang tidak bisa dimenangkan hanyalah tindakan sia-sia yang akan membawa lebih banyak kehancuran. Bahkan jika suatu pihak berhasil memenangkan perang, kerugian ekonomi, sosial, dan kemanusiaan yang ditinggalkan tidak akan bisa ditebus dengan mudah. Oleh karena itu, mengedepankan diplomasi dan mencari solusi damai adalah pilihan yang lebih bijaksana.
Terlepas dari semua dinamika ini, satu hal yang pasti: perang yang berkepanjangan tidak akan menguntungkan siapa pun. Rasulullah berperang selalu dalam waktu singkat, tidak membiarkan berlama-lama karena akan menimbulkan kehancuran ekonomi dan peradaban. Bahkan di perang Khandak, pengepungan pihak Quraisy, kaum Yahudi dan aliansi Arab yang luar biasa banyaknya tidak dibiarkan lama, Nabi Muhammad putar otak supaya perang lekas berlalu.
Begitu pun dengan keputusan Rasulullah saat Fathul Makkah, yang menjadi perang tanpa peperangan. Beliau dengan cerdik membebaskan Mekkah supaya perang tidak berlarut-larut. Hebatnya lagi, jelas sekali Rasulullah adalah pemenang perang, tetapi beliau masih sudi berkali-kali berunding dengan pihak Quraisy, bahkan beliau bermurah hati menjadikan Fathul Makkah sebagai kemenangan bersama.
Rasulullah selalu mengedepankan jalan damai, bahkan setelah memenangkan perang pun perdamaian yang beliau utamakan. Ketika Fathul Makkah berhasil dimenangkan, beliau tidak membalas dendam, tetapi menjadikan kemenangan itu sebagai kemenangan bersama dan simbol rekonsiliasi.
KOMENTAR ANDA