Ilustrasi seorang perempuan menangis. (Freepik)
Ilustrasi seorang perempuan menangis. (Freepik)
KOMENTAR

DI pinggiran jalan, seorang istri berparas cantik tetapi matanya berkaca-kaca. Sekuat tenaga dia menahan supaya air mata tidak berguguran. Perempuan muda dua anak itu melaporkan bahwa beras di dapur sudah habis. Suaminya diam membeku. Kemudian pria tinggi besar itu melenggang pergi. Istrinya memilih diam, lalu melanjutkan memasak di gerobak dagangan. Kemana perginya sang suami?

Lelaki itu mendatangi salah seorang saudaranya, mengutarakan niat hendak berutang Rp100 ribu. Harapan terbersit karena kondisi ekonomi saudara itu lagi bagus. Bukannya mendapatkan pinjaman uang, sang suami terpaku mendapatkan penolakan plus bonus ucapan yang tidak mengenakkan.

Dengan langkah gontai, sang suami pergi meninggalkan saudara yang dulu banyak dibantunya. Betapa sesak dada sang suami membayangkan mata istrinya yang berkaca-kaca hanya masalah beras. Padahal dulunya mereka tergolong kaya raya. Perputaran nasib menghempaskan mereka kepada kefakiran yang tak terperikan.

Ramadan ceria tidak dialami oleh semua muslimin dan muslimah. Di antara saudari-saudari seiman kita tengah mengucurkan air mata akibat diterjang prahara kehidupan. Dan yang paling perih itu, naluri ibu mereka dihantam kenyataan pahit betapa anak-anak tercinta lagi bertarung melawan kelaparan.

Air mata mereka punya sejuta makna tentang gelombang nasib yang seperti mempermainkan selembar nyawa yang rapuh. Ujian yang datang seolah mengingatkan bahwa di balik kemewahan, ada cerita pilu yang menyentuh jiwa.

Hendaknya kita memperbanyak rasa syukur, karena kesusahan yang tengah dihadapi ternyata ada yang lebih memilukan. Barangkali ujiannya terasa amat berat, tetapi di luar sana banyak orang yang mempertaruhkan nyawa demi sesuap nasi. Ramadan yang suci malah diwarnai linangan air mata istri.  

Prahara ekonomi tengah menghantam dunia secara bertubi-tubi, tak terkecuali bangsa Indonesia. Kita tengah menghadapi gelombang kesulitan yang belum terang kemana ujungnya, tetapi banyak-banyaklah bersyukur dan bersabar. Tidak ada lagi perbekalan hidup yang lebih berharga dari keduanya. Sabarlah karena Tuhan tidak akan membiarkan hamba-hamba-Nya menderita.

Dalam menghadapi segala ujian tersebut, Islam mengajarkan kita untuk bersabar dan tetap teguh di jalan keimanan. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an, yang artinya, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Surah al-Baqarah ayat 286) Ayat ini mengingatkan bahwa setiap cobaan yang kita alami tidak terjadi begitu saja, melainkan telah diukur Tuhan sesuai dengan kemampuan kita. Sederhananya, kita hanya perlu yakin bahwa air mata tidak akan sia-sia apabila dibingkai dengan sikap husnuzan terhadap karunia Allah. Karena Allah yang mendatangkan ujian, maka Allah pula yang akan memberikan pertolongan.

Begitu pula, firman Allah, yang artinya, “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan," (Surat al-Insyirah ayat 6). Ayat ini memberikan secercah harapan bahwa setiap penderitaan pasti akan diiringi dengan kebahagiaan. Tiada janji yang lebih benar selain janji dari Allah Swt. Percayalah bahwa mudah bagi Allah membangkitkan hamba-hamba-Nya dari kubangan derita menuju era kebahagiaan.

Rasulullah menegaskan betapa pentingnya rasa kasih sayang dan kepedulian antar sesama dengan bersabda, “Barang siapa yang tidak menyayangi sesama, maka Allah tidak akan menyayanginya,” (HR. Bukhari dan Muslim). Wasiat Nabi Muhammad ini hendaknya menjadi motivasi agar tidak saling mengabaikan dalam menghadapi masa-masa susah.

Dalam situasi yang penuh derita seperti ini, solusinya terletak pada kekuatan iman dan rasa empati. Menumbuhkan keimanan melalui ibadah seperti salat, membaca Al-Qur’an, berpuasa, dan berzikir bisa menjadi penawar hati yang terluka. Dengan mendekatkan diri kepada Allah, seseorang akan lebih mampu menerima setiap ujian dengan lapang dada dan bersyukur meski dalam keterbatasan.

Begitu pula, hubungan kekeluargaan yang hangat dan penuh pengertian dapat menjadi sumber kekuatan bersama dalam menghadapi tekanan hidup. Kebersamaan dan saling mendukung antara anggota keluarga dapat mengurangi beban dan menghadirkan harapan di tengah keterpurukan.

Kisah air mata istri di bulan suci ini seolah menjadi cerminan bahwa setiap ujian, betapa pun pahitnya, menyimpan hikmah yang mendalam. Banyak sekali air mata istri yang mengalir tetapi bukan gambaran kerapuhan hati melainkan keyakinan bahwa harapan tidak akan pernah pupus.

Meskipun kesulitan ekonomi dan tekanan sosial menghimpit, setiap derita yang dialami adalah kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Sang Mahakuasa. Meskipun penuh tantangan bagi sebagian muslimin dan muslimat, Ramadan tetaplah menjadi waktu untuk introspeksi, memperbaiki diri, dan mempererat tali persaudaraan. Di balik setiap air mata terdapat pesan bahwa dalam setiap penderitaan di baliknya ada janji kemudahan, asalkan kita mau bersabar dan terus berharap pada karunia Ilahi.




Abdul Mu’ti: Konvergensi Keislaman sebagai Pilar Kekuatan Indonesia

Sebelumnya

Teka-Teki Perang Ukraina dan Perspektif Fathul Makkah

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur