RAMADAN di Gaza menjadi simbol ketahanan dan harapan. Dengan setiap suapan makanan berbuka, mereka tak hanya mengisi perut, tetapi juga memperkuat tekad untuk bertahan dan terus berharap akan datangnya hari yang lebih baik.
Di Khan Younis, suasana sahur bersama mengawali Ramadan. Ratusan warga duduk di meja panjang, menikmati sajian sederhana berupa keju, sayuran, falafel, zaitun, dan roti. Pesan-pesan harapan dan ucapan selamat Ramadan tergambar di dinding-dinding yang penuh bekas luka perang, melambangkan keteguhan hati warga Gaza.
Meskipun acara sahur diadakan tepat di depan reruntuhan rumah keluarganya, Aya Abu Mostafa merasakan harapan yang tumbuh kembali.
“Hari ini kami merayakan dan merasa bangga sebagai orang Palestina, yang dikenal karena ketahanan mereka,” katanya, dikutip dari NBC.
Ia berharap bisa hidup dalam kedamaian, tanpa ketakutan akan suara pesawat tanpa awak.
Di antara wajah-wajah penuh semangat, Shahed Abu Mustafa tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. “Saya senang kami bisa menghias lingkungan ini dan perang berakhir,” ujarnya berseri-seri.
“Semua anak bahagia, dan acara ini sangat menyenangkan. Semoga suasana seperti ini tetap ada selamanya.”
Anak-anak bernyanyi riang membawakan lagu Ramadan populer karya penyanyi Emirat, Hussain Al Jassmi, tentang lentera dan kebahagiaan bulan suci, seolah ingin menghidupkan kembali kenangan Ramadan sebelum perang.
Meskipun perang telah berlangsung lebih dari setahun, semangat warga Palestina tak padam. "Terlepas dari apa yang terjadi pada kami, kami tetap bersatu,kami ingin dunia tahu bahwa kami tidak akan meninggalkan tanah ini," kata Mamdouh A'rab Abu Oday.
Sementara di tengah reruntuhan Gaza selatan, sebuah meja panjang berlapis merah membentang ratusan meter, membentuk jalur harapan di antara puing-puing yang berserakan. Saat azan magrib berkumandang, ratusan warga Palestina dari berbagai usia berkumpul, menyantap hidangan berbuka puasa bersama dalam suasana Ramadan yang penuh makna.
Di Rafah, di mana perang telah meratakan hampir seluruh bangunan, suasana berbuka puasa menghadirkan sebersit kehangatan. Musik mengalun lembut dari pengeras suara, mengiringi deretan panjang kursi plastik yang tersusun di bawah umbul-umbul, bendera Palestina, dan lampu-lampu kecil yang menggantung di antara dinding-dinding beton yang hancur.
"Orang-orang sangat sedih, dan segalanya terasa menyayat hati," ujar Malak Fadda, penyelenggara acara buka puasa bersama ini.
"Kami ingin mengembalikan kegembiraan ke jalan ini, seperti sebelum perang," imbuhnya, seperti dilaporkan Al Jazeera.
Menurut PBB, pemboman Israel telah membuat hampir seluruh penduduk mengungsi dan memicu kelaparan yang meluas.
Gencatan senjata yang mulai berlaku pada 19 Januari telah memungkinkan aliran bantuan yang lebih besar ke wilayah Palestina yang hancur, tetapi ratusan ribu orang masih tinggal di tenda-tenda, banyak yang berkemah di reruntuhan bekas rumah mereka.
KOMENTAR ANDA