SEPERTI cendawan di musim hujan, konten viral tentang emak-emak yang meledak emosinya saat berbelanja semakin sering bermunculan di media sosial. Tak jarang, tantrum yang terjadi tidak hanya berupa caci maki kepada penjual atau kasir, tetapi juga menggebrak meja, membanting barang, bahkan sampai menggebuk komputer.
Di balik tingkah laku yang tampak semakin tidak rasional itu, tersimpan berbagai pemicu; mulai dari kekurangan uang kembalian Rp200, kurangnya dana untuk melunasi belanjaan, hingga tekanan karena harus menjalankan peran sebagai “wonderwoman” dalam keluarga, atau beban batin harus kuat bertahan seberapa besar penghasilan yang diperoleh suami.
Kenyataan ekonomi yang kian berat, dengan pemasukan yang menurun dan pengeluaran yang melonjak, membuat banyak emak-emak menghadapi tekanan psikologis yang luar biasa. Gelombang PHK dan naiknya harga-harga kebutuhan sehari-hari semakin memperparah kondisi, sehingga sedikit perkara pun, bisa menjadi pemicu ledakan emosi. Meskipun tindakan tantrum tersebut mendapat kecaman dan cibiran, fenomena ini sebenarnya merupakan gambaran kompleks dari kegelisahan dan ketidakpastian yang dirasakan banyak orang dalam menghadapi persoalan ekonomi saat ini.
Tantrum pada dasarnya adalah ledakan emosi yang terlihat seperti perilaku anak kecil; bentuknya pun bisa berbeda-beda pada orang dewasa. Anak-anak yang belum bisa mengungkapkan keinginan atau kekecewaan dengan kata-kata cenderung menunjukkan reaksi berlebihan. Ironisnya, fenomena serupa kini juga terjadi pada para emak-emak, yang seharusnya sudah memiliki kematangan dalam mengelola emosi, tetapi justru terbawa arus tekanan hidup yang berat.
Dalam Islam, mengendalikan amarah dan bersikap sabar adalah ajaran yang sangat ditekankan. Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Al-Qur’an pun mengingatkan umatnya untuk senantiasa bersabar dalam menghadapi cobaan, di antaranya pada surat Al-Anfal ayat 46, yang artinya, “Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Ayat dan hadis tersebut hendaknya menjadi pedoman penting untuk mengendalikan diri dalam menghadapi ujian hidup, termasuk tekanan ekonomi dan beban emosional yang menimpa para ibu rumah tangga. Karena kita tidaklah sendiran, banyak emak-emak yang menghadapi prahara yang lebih dahsyat tetapi mampu mengendalikan diri mereka.
Dalam rangka menghadapi situasi yang penuh tekanan seperti ini, ada beberapa solusi yang bisa diterapkan, baik dari sudut pandang psikologis maupun spiritual:
a. Meningkatkan kesadaran diri dalam pengelolaan emosi
Bijaklah mengenali tanda-tanda awal kemarahan dan belajar teknik pengendalian diri, seperti istighfar, zikir dan mengatur pernapasan yang bisa membantu mencegah ledakan emosi. Pendekatan ini sejalan dengan ajaran Islam untuk selalu bersikap tegar dengan mengandalikan amarah.
b. Perencanaan keuangan yang matang
Tekanan finansial sering kali menjadi pemicu stres. Dengan menyusun anggaran keuangan, mencatat pemasukan dan pengeluaran, serta memprioritaskan kebutuhan, insya Allah dapat mengurangi kecemasan yang muncul saat menghadapi situasi keuangan yang sulit.
c. Mendekatkan diri kepada Allah
Dalam situasi yang benar-benar sulit seperti saat ini, tidak ada lagi yang melebihi bantuan dari Allah Swt. Maka mendekatkan pada-Nya dalam ibadah seperti alat, membaca Al-Qur’an, dan berzikir yang merupakan sarana menenangkan hati. Dengan mendekatkan hati pada Tuhan, seseorang akan lebih mudah bersabar dan menerima ujian hidup dengan lapang dada.
d. Komunikasi dan dukungan keluarga
Dialog terbuka antaranggota keluarga sangat penting untuk mengatasi tekanan hidup yang memang sangat berat. Dengan saling memahami dan mendukung, beban yang dirasakan bisa berkurang, sehingga konflik dan ledakan emosi dapat diminimalkan.
e. Menjaga kesehatan fisik dan mental
Pola hidup sehat, seperti mendapatkan tidur yang cukup, olahraga secara teratur, dan menjaga asupan gizi, berperan penting dalam menjaga kestabilan emosi. Kondisi fisik yang prima akan membantu mengurangi stres dan meningkatkan kemampuan menghadapi tekanan.
Akhirnya, marilah kita sama-sama jujur memahami fenomena tantrum di kalangan emak-emak, meskipun tidak bisa dibenarkan secara moral, tapi itulah merupakan cermin dari realitas kehidupan yang penuh dengan ujian. Islam mengajarkan kita untuk saling menyayangi dan memahami kesulitan sesama.
Dalam konteks ini, alih-alih mencemooh atau menghakimi berdasarkan emosi pula, sebaiknya kita memberikan dukungan dan empati kepada mereka yang tengah berjuang menghadapi tekanan ekonomi dan beban emosional. Dengan menerapkan solusi praktis dan menguatkan keimanan, diharapkan kita semua bisa menjalani kehidupan yang lebih harmonis dan penuh kesabaran.
Melalui pendekatan yang bijak dan penuh kasih, baik secara individual maupun kolektif, kita dapat mendorong perubahan positif dalam masyarakat. Semoga dengan memahami akar permasalahan dan menerapkan solusi yang tepat, fenomena tantrum tidak lagi menjadi cermin keputusasaan, melainkan titik tolak untuk membangun kekuatan diri dan solidaritas umat.
KOMENTAR ANDA