Ilustrasi Interactive Living Museum. (Taman Safari)
Ilustrasi Interactive Living Museum. (Taman Safari)
KOMENTAR

DI balik tawa penonton dan gemerlap panggung sirkus, tersembunyi kisah-kisah luka yang nyaris tak terdengar. Kisah tentang perempuan yang selama bertahun-tahun dipaksa hidup dalam kekerasan, dipisahkan dari anaknya, dan dilucuti hak dasarnya sebagai manusia.

Kisah ini bukan fiksi. Ini adalah kenyataan yang baru terkuak dari para mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI) — banyak di antaranya perempuan — yang selama ini tampil di Taman Safari.

Dilansir Kompas, ruang pertemuan di kantor Kementerian Hukum dan HAM pada Selasa (15/4) berubah menjadi tempat pengakuan luka-luka lama. Di hadapan Wakil Menteri HAM Mugiyanto, perempuan-perempuan itu berbicara — dengan suara bergetar, air mata yang tak bisa dibendung, dan kenangan pahit yang akhirnya tak bisa lagi disembunyikan.

Butet, salah satu korban, mengenang bagaimana tubuhnya diperlakukan bukan sebagai milik sendiri, melainkan properti pertunjukan. Ia pernah dirantai seperti binatang, bahkan saat hamil pun dipaksa tampil. Lebih menyayat hati lagi, ia dipisahkan dari bayinya, tak diizinkan menyusui.

Anak itu, Fifi, tumbuh tanpa tahu siapa ibunya, hanya untuk kemudian mengalami kekerasan serupa—diseret, disetrum, dikurung dalam kandang. Seolah mereka bukan manusia, tapi bagian dari tontonan yang bisa dikendalikan semena-mena.

Ida, perempuan lain, kini duduk di kursi roda. Ia jatuh saat tampil, namun pertolongan medis tak kunjung datang. Ia bukan prioritas—karena dalam sistem yang memanfaatkan tubuh perempuan hanya sebagai hiburan, rasa sakit tampaknya tak pernah jadi urusan penting.

Wamen HAM menyatakan bahwa negara bertanggung jawab untuk mendengar, menyelidiki, dan memberikan keadilan. "Ada kemungkinan banyak sekali tindak pidana. Bahkan identitas mereka pun banyak yang tak jelas. Ini pelanggaran hak asasi paling mendasar," kecamnya.

Namun suara perempuan-perempuan ini bukan hanya tangisan masa lalu. Ini adalah panggilan mendesak akan keadilan. Pengacara mereka, Muhammad Soleh, meminta pembentukan tim pencari fakta. “Masih banyak korban yang belum terungkap. Mereka harus ditemukan. Suara mereka harus didengar.”

Taman Safari Indonesia secara resmi membantah memiliki hubungan hukum atau bisnis dengan para mantan pemain sirkus tersebut. Mereka menyatakan bahwa kasus ini merupakan persoalan pribadi yang tidak berkaitan langsung dengan lembaga. 

Pihak manajemen meminta agar nama institusi tidak diseret tanpa bukti yang sah dan menyerukan agar publik tetap bijak dan kritis dalam menyikapi informasi yang beredar di ruang digital.

Tapi publik pantas tahu: jika memang tak bersalah, maka biarkan penyelidikan membuktikannya. Karena kebenaran tidak bisa dikubur dengan pernyataan resmi atau etika korporasi semata.




Blue Origin Sukses Kirim 6 Perempuan Figur Publik Berwisata ke Luar Angkasa, Berapa Biaya Tiketnya?

Sebelumnya

Pencabutan Visa Pelajar oleh AS Gegerkan Jagad Medsos

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News